PENGENDALIAN HAWA NAFSU DALAM PARADIGMA SURAT AL-BAQARAH AYAT 183

PENGENDALIAN HAWA NAFSU DALAM PARADIGMA SURAT AL-BAQARAH AYAT 183
Serba Serbi Pendidikan - pada kajian kali ini kita akan membahasa tentang Pengendalian Hawa Nafsu dalam Paradigma Surat Al-Baqarah Ayat 183. Sesungguhnya berbahagialah kita sebagai umat Islam yang memiliki pedoman hidup al- Qur’an, mukjizat Nabi Muhammad SAW dan merupakan wahyu dari Allah SWT dimana membacanya atau sekedar mendengarkan ayat-ayatnya dilantunkan sudah merupakan ibadah bagi kita. al-Qur’an sebagai kitab undang–undang mengandung hujjah dan petunjuk tentang segala hal kehidupan manusia, salah satunya ialah tentang satu yang sudah pasti ada dalam diri makhluk bernama manusia, yaitu nafsu.
Surat al – Baqarah ayat 183 :
يايها الذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya : " Hai orang –orang yang beriman , diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa"11
  1. Makna Mufrodat
الصيام  :  Secara bahasa berarti mengekang atau Menahan diri dari sesuatu. Secara istilah Syariat, berarti menahan diri tidak makan, tidak minum, bersetubuh dengan istri sejak pajar hingga terbenam matahari karena mengharap pahala dari Allah SWT. Disamping itu juga untuk melatih diri bertaqwa kepada Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri maupun sedang berkumpul dengan kebanyakan orang.2[1]
  1. Makna Global
Ayat ini dimulai dengan ajakan kepada orang yang memiliki iman seberat apapun, dimulai dengan satu pengantar yang mengundang setiap mukmin untuk sadar akan perlunya melaksanakan ajakan puasa dimulai dengan panggilan mesra, wahai orang yang beriman.
Kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan kewajiban puasa tanpa menunjuk siapa yang mewajibkannya (diwajibkan atas kamu). Agaknya untuk mengisyaratkan bahwa apa yang diwajibkan ini sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang bahkan kelompok, sehingga sendainya bukan Allah yang mewajibkannya atas diriya sendiri yang diwajibkan adalah Shiyam, yakni menahan diri.3[2]
Ibadah puasa telah disyari’atkan oleh seluruh umat beragama sekalipun bagi mereka yang menyembah berhala. Puasa sudah dikenal sejak zaman Mesir kuno. Selanjutnya meluas sampai ke Yunani dan Romawi. Orang–orang yang memeluk agama Hindu juga tetap melaksanakan ibadah puasa hingga saat ini,4[3]demikian juga umat Budha Bikshu (Pendeta Budha) berpuasa sehari semalam, dimulai malam hari tapi boleh minum.5[4]
Dalam kitab Taurat juga disebutkan puasa dan dipuji orang yang melakukannya, hanya tidak disebutkan wajibnya puasa. Tapi Nabi Musa as. sendiri melakukan puasa selama 40 hari. Dalam kitab Injil juga tidak ada nash yang menyebutkan wajibnya puasa. Tapi disebutkan bahwa puasa itu merupakan salah satunya jenis ibadah dan pujian terhadap ibadah ini.
Puasa yang banyak dikenal oleh kaum Nasrani yang paling terdahulu dilakukan adalah puasa sebelum hari raya Paskah, dan hari itu juga Nabi Musa berpuasa, yang dilakukan juga oleh Nabi Isa dan kaum Hawariyyun (para penolong nabi).6[5]
Melalui surat al-Baqarah ayat 183 Allah berkhitab pada orang-orang mukmin dari kalangan umat ini dan memerintahkan kepada mereka berpuasa, yaitu menahan diri dari makan dan minum dan bersenggama dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT, karena didalam puasa terkandung hikmah membersihkan jiwa, menyucikannya serta membebaskanya dari endapan-endapan yang buruk (bagi kesehatan tubuh) dan akhlak yang rendah.7[6]
Dengan berpuasa orang dilarang makan dan minum dan dilarang bersetubuh, ialah karena kehendak mengambil faedah yang besar dari pada larangan itu, yang pertama ialah latihan mengendalikan diri. Kalau disegala waktu dilarang makan makanan yang haram, maka di bulan puasa  makanan yang halal pun dilarang. Orang yang beriman dapat menjaga hawa nafsunya karena melaksanakan perintah Allah. Walaupun dia sering terpencil seorang diri, tidak seorang jua pun melihatnya,namun ia tetap berpuasa sebab percayanya bahwa Tuhan selalu melihat. Dengan demikian orang mukmin mendidik iradat atau kemauan dan dapat mengekang hawa nafsu. Ada dua syahwat yang sangat mempengaruhi hidup, yaitu syahwat faraj atau sex, kelamin dan syahwat perut. Kalau keduanya itu tiada terkendali bisalah kemanusiaan manusia menjadi runtuh dan turun menjadi kebinatangan. Tetapi apabila dapat dikendalikan dengan puasa, kemanusiaan tidak turun tingkatnya, kesabaran menahan adalah nilai yang amat penting bagi keteguhan jiwa.8[7]
Menahan diri dibutuhkan oleh setiap orang, kaya atau miskin, muda atau tua, lelaki atau perempuan, sehat atau sakit, orang modern yang hidup dimasa kini,  maupun manusia primitif yang hidup dimasa lalu, bahkan perorangan atau kelompok. Selanjutnya ayat ini menjelaskan bahwa kewajiban yang dibebankan itu adalah, (sebagaimana telah diwajibkan pula atas umat-umat terdahulu sebelum kamu).9[8]
Puasa adalah media yang ampuh untuk membersihkan jiwa dan merupakan ibadah yang paling efektif untuk dapat mengekang hawa nafsu,10[9] bukan sekedar meninggalkan makan dan minum disiang hari saja, tapi juga menahan nafsu kita dari perbuatan tercela seperti menggunjing orang lain, berkata kotor, marah-marah dan perbuatan apa saja yang sekiranya tidak mendatangkan ridha Allah SWT.11[10]
3.      Asbabul Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 183
Ayat-ayat al-Qur’an turun sejalan dengan misi nabi dan sesuai dengan kepercayaan nabi untuk mendidik para sahabat, memperbaiki kondisi masyarakat atau untuk menjawab pertanyaan atas kejadian yang ditanyakan oleh umat kepada Nabi. Ayat-ayat itu biasanya didahului sebab tertentu. Keadaan diri nabi, sahabat dan masyarakat sering menjadi sebab turunnya ayat.12[11] Sebab-sebab turunnya ayat ini dalam bahasa Arab disebut asbabun nuzul.
Dengan memahami asbabun nuzul suatu ayat, kita akan lebih memahami makna dan kandungan ayat tersebut, serta terlepas dari keragu-raguan dalam menafsirkannya.13[12]
Berkaitan dengan hal tersebut surat al-Baqarah ayat 183 turun berkenaan dengan sebab-sebab sebagai berikut :
“ Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa ibadah puasa pada permulaan Islam dilakukan sebagaimana yang biasa dilakukan umat-umat terdahulu sebelum kita, yaitu setiap bulannya tiga hari. Riwayat ini dari Mu’az, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ata, Qatadah, dan ad-Dahak Ibnu Muhazim. Puasa yang demikian itu masih terus berlangsung sejak zaman Nabi Nuh as. sampai Allah me-nasakh-nya dengan puasa ramadhan”.14[13]

  1. Kesesuaian (Munasabah) Surat Al-Baqarah dengan Surat Sebelum dan Sesudahnya
Secara etimologi munasabah berarti kedekatan dan penyerupaan.15[14] Menurut al-Zarkasyi munasabah berarti muqarabah (kedekatan atau kemiripan) dan musyakalah (keserupaan).16[15]
Secara terminologi munasabah diartikan sebagai segi-segi hubungan dan penyesuaian antara satu ayat dengan ayat lain, antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu surat atau antara satu surat dengan surat yang lain.17[16]
a.    Munasabah Surat al-Baqarah dengan Surat al-Fatihah
1.      Surat al-Fatihah merupakan titik-titik pembahasan yang akan diperinci dalam surat al-Baqarah dan surat-surat sesudahnya.
2.      Dibagian akhir surat al-Fatihah disebutkan permohonan hamba, supaya diberi petunjuk oleh Allah kejalan yang lurus, sedang surat al-Baqarah dimulai dengan ayat yang menerangkan bahwa al-Qur’an adalah kitab yang menunjukkan jalan yang dimaksudkan itu.18[17]
b.      Munasabah Surat al-Baqarah dengan Surat Ali Imron
1.      Dalam Surat al-Baqarah disebutkan Nabi Adam as. langsung diciptakan Allah SWT, sedangkan dalam Surat Ali Imron disebutkan tentang kelahiran Nabi Isa as. yang keduanya dijadikan Allah meyimpang dari kebiasaan.
2.      Dalam Surat al-Baqarah dibentangkan secara luas sifat dan perbuatan orang Yahudi disertai hujjah-hujjah yang membantah dan membetulkan kesesatan mereka, sedangkan dalam surat Ali Imron dibentangkan hal-hal serupa yang berhubungan dengan orang Nasrani.
3.      Surat al-Baqarah dimulai dengan menyebutkan tiga golongan manusia yaitu orang mukmin, orang kafir dan orang munafik, sedangkan surat Ali Imron menyebutkan orang-orang yang suka mentakwilkan ayat-ayat yang mutasyabihat dengan takwil yang salah untuk memfitnah orang-orang mukmin dan menyebutkan pula orang-orang yang mempunyai keahlian dalam mentakwilkan-nya.
4.      Surat al-Baqarah diakhiri dengan menyebutkan permohonan kepada Allah agar diampuni kesalahan-kesalahan dan kealpaan dalam melaksanakan taat, sedangkan dalam surat Ali Imron disudahi dengan permohonan kepada Allah agar memberi pahala atas amal kebaikan hamba-Nya.
5.      Surat al-Baqarah dimulai dengan menyebutkan sifat-sifat orang yang bertaqwa sedangkan surat Ali Imron dimulai dengan perintah bertaqwa.19[18] 
Demikian pembahasan kita tentang Pengendalian Hawa Nafsu dalam Prespektif Surat Al-Baqarah Ayat 183. Semoga Bermanfaat





2 Ahmad Mustofa al–Maraghi, Tafsir al–Maraghi, Terj : K. Anshari Umar Sitanggal, Hery Noer Aly, Bahrun Abu Bakar, Karya Toha Putra, Cet. II. Semarang, 1993, Hal. 115
3  M.  Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran), Lentera Hati, Jakarta, 2000, Hal. 376
4  Ahmad Mustofa al-Maraghi, Op. Cit., Hal. 116
5  Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Tafsir Al-Azhar Juz II, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 2002, Hal. 118
6  Ahmad Mustofa al – Maraghi, Loc. cit
7  Al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz II, Terj : Bahrun Abu Bakar dan Anwar Abu Bakar, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2000, Hal. 150
8  Hamka (Haji Abdul Karim Malik Abdullah), Loc. Cit.
9  M. Quraish Syihab,  Loc. Cit.
10  Ahmad Mustofa al-Maraghi,  Op. Cit.,  Hal. 115
11  A. Ma’ruf Asrori dan M. Rofiq Zakaria,  Khotbah Jum’at Reformasi (Ibadah Ritual dan Ibadah Sosial), Al-Miftah, Surabaya, 2000, Hal. 165
12 Syeh Mahmud Nasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hal. 445
13 K. H. Q. Shaleh, et. el., Asbanun Nuzul (Latar belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), Diponegoro, Bandung, 2000, hal. 4
14 al-Imam Abul Fida Ismail Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Op. Cit., hal. 151
15 Manna’ Qattan, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat al-Ashr al-Hadits, ttp, 1973, hal. 7 
16 al-Zarkasyi, al-Burhan Fi Ulum Al-Qur’an Juz I, Dar al-Ihya’, Mesir, 1997, hal. 35
17 Manna’ Qattan, Loc. Cit.
18 Proyek pengadaan kitab suci al-Qur’an, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid I Departemen Agama RI, Jakarta, 1975, hal. 53
19 Ibid. hal. 52

0 Response to "PENGENDALIAN HAWA NAFSU DALAM PARADIGMA SURAT AL-BAQARAH AYAT 183"

Post a Comment

sumonggo tinggalkan salam