GADAI ; SIFAT, HUKUM DAN RUKUNNYA

Serba Serbi Pendidikan - kali ini kita akan mengkaji tentang Gadai ; Sifat, Hukum dan Rukunnya. Islam telah mengajarkan kepada seluruh umat manusia untuk hidup saling tolong menolong dengan berdasarkan rasa tanggungjawab bersama, jamin menjamin dan tanggung menanggung dalam hidup bermasyarakat. Islam juga mengajarkan agar dalam hidup bermasyarakat dapat ditegakkan nilai-nilai keadilan dan dihindarkan praktik-praktik penindasan dan pemerasan.
Salah satu contoh ajaran Islam adalah hak milik perorangan dalam ajaran Islam adalah tidak mutlak, tetapi terkait dengan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan; pemilik benda tidak sepenuhnya bebas memperlakukan harta benda miliknya. Dalam usaha mengembangkan harta benda, Islam melarang cara-cara yang mengandung unsur penindasan, pemerasan atau penganiayaan terhadap orang lain. Begitu juga halnya dengan memberikan pinjaman uang kepada orang lain yang amat membutuhkan, tetapi dengan dibebani kewajiban tambahan dalam membayarkannya (kembali) atau menyita dan menguras sebagian benda sebagai imbangan jangka yang telah diberikan memberatkan pihak peminjam.
Terkait dengan hal tersebut diatas, lebih lanjut akan dibahas secara sistematis tentang perjanjian utang-piutang khususnya perjanjian utang piutang gadai yang sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan sistematika pembahasannnya dapat dideskripsikan sebagai berikut:
  1. Pengertian Gadai
Perjanjian dalam Islam disebut (rahn), yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Kata (rahn) menurut bahasa berarti “tetap”, “berlangsung” dan “menahan”.[1]

Sedangkan menurut istilah sebagai berikut:
الرهن: عقديتضمن جعل عين مالية وثيقة بدين يستوفى منهاعند تعدرالوفاء
Artinya:
“Suatu akad dengan menjadikan barang yang bernilai harta sebagai tanggungan/jaminan atas hutang ketika berhalangan dalam membayar hutang”.[2]

الما ل الذ ى يجعل وثيقة با لد ين ليستو فى من ثمنه ان تعدر استفا ؤه ممن هو له

Artinya:
“Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harta (nilai) hutang ketika yang berhutang berhalangan (tidak mampu) membayar hutangnya kepada pemberi pinjaman”.[3]
Sedangkan menurut Imam Abu Zakariya Al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab mendefinisikan rahn sebagai berikut:
جعل عين مال وثيقة بدين يستو فى منهاعندتعذروفا ئه
Artinya:
“Menjadikan suatu benda yang bersifat harta sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayaran ketika berhalang dalam membayar hutang”.[4]
Selanjutnya Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayat al Ahyar fii Halli Ghayati al-Ikhtisar berpendapat bahwa rahn adalah:

جعل مال وثيقة بدين
Artinya:
“Menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat hutang”.[5]
Lebih lanjut Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini mengatakan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat dijualbelikan. Artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.
Dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan atau penguat kepercayaan dalam utang piutang dan barang jaminan itu boleh sebagai pembayar harga atau dijual kalau hutang tidak dapat dibayar.
2.      Sifat Gadai
Secara umum rahn dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai rahin kepada penerima gadai murtahin tidak ditukar dengan sesuatu.[6] Yang diberikan murtahin kepada rahin adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikan. Rahn juga termasuk akad yang bersifat ainiyah, yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminjam, titipan dan qirad. Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang Alqabdu sesuai kaidah: 
لا يتم التبر ع إلابالقيض (tidak sempurna tabarru’ kecuali setelah pemegangan).[7]

3.      Dasar Hukum Gadai
Gadai disyariatkan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah:
a.      Dalil dari Al-Qur'an
Surat Al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi sebagai berikut:
وان كنتم على سفرولم تجدوا كاتبافرهان مقبوضة وان امن بعضكم بعضا فليؤدالذىاؤتمن امانته وليتق الله ربه           (البقر ة: ۲۸۳)
Artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dalam muamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utang) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”. (Al-Baqarah: 283).[8]
b.      Dalil dari As-Sunnah
عن انس قال رهن رسول الله صلى الله عليه وسلم درعاعنديهودي بالمدينة واخذمنه شعيرالاهله (رواه احمد والبخارى والنسا ئى وابن ماجه)
Artinya:
Dari Anas, ia berkata: “Rasulullah SAW telah menggadaikan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Masinah, sewaktu beliau menghutang sya’ir (gandum) dari seorang Yahudi untuk ahli rumah (keluarga) beliau”. (HR. Ahmad, bukhari, Nasa’i dan Ibnu Majah).




c.       Ijma’ Ulama
Pada dasarnya para ulama’ telah bersepakat bahwa gadai itu boleh. Para ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian pula landasan hukumnya. (Jumhur) ulama’ berpendapat bahwa gadai disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian.[9]
4.      Hukum Gadai
Para ulama sepakat bahwa (rahn) dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebagai gadai hanya jaminan saja, jika kedua pihak tidak saling mempercayai. Firman Allah SWT:     فرهان مقبوضة   pada ayat diatas adalah (isyad) (anjuran baik) saja kepada orang beriman sebab dalam lanjutan ayat tersebut dinyatakan:
فان امن بعضكم بعضا فليؤدالذىاؤتمن امانته .....  (البقر ة: ۲۸۳)
Artinya:
“Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya)”.
(QS. Al-Baqarah: 283).[10]
Selain itu, perintah untuk memberikan jaminan sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut dilakukan ketika tidak ada penulis padahal hukum utang sendiri tidaklah wajib, beitu juga penggantinya, yaitu barang jaminan.[11]
5.      Rukun Dan Syarat Sah Gadai
a.      Rukun gadai
Rukun gadai ada 5 (lima) yaitu:
1)      Orang yang menggadaikan (rahin)
2)      Barang yang digadaikan (marhun)
3)      Orang yang menerima (murtahin)
4)      Sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad gadai (shigat)
5)      Utang (marhun bih)[12]
b.      Syarat sah gadai
Disyaratkan untuk sahnya akad gadai sebagai berikut:
1)      Ijab qabul (sighot)
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan saja didalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2)      Orang yang bertransaksi (aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu pemberi gadai (rahin) dan penerima gadai (murtahin) adalah:
a)      Telah dewasa
b)     Berakal
c)      Atas keinginan sendiri
3)      Adanya barang yang digadaikan (marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh pemberi gadai (rahin) adalah:
a)      Dapat diserah terimakan
b)     Bermanfaat serta bernilai harta
c)      Milik orang yang menggadaikan (rahin)
d)     Jelas (tertentu)
e)      Tidak bersatu dengan harta lain
f)       Dikuasai oleh rahin
g)     Harta yang tetap atau dipindahkan[13]
Dalam ketentuan marhun tidak termasuk barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan.
Bahwa barang-barang yang tidak diperjualbelikan tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan dipohonnya yang belum masak. Karena penjualan tanaman dan buah-buahan dipohonnya belum masak tersebut haram, namun untuk dijadikan barang gadai hal ini diperbolehkan, karena didalamnya tidak memuat unsur-unsur tipuan gharar bagi murtahin. Dinyatakan tidak mengandung unsur gharar karena piutang murtahin tetap ada kendati tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami kerusakan.[14]
4)      Utang (marhun bih)
Menurut ulama Hanafiyah dan syafi’iyah utang yang dapat dijadikan alasan gadai adalah:
a)      Berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan
b)     Utang harus lazim pada waktu akad
c)      Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
Jika ada perselisihan mengenai besarnya hutang antara rahin dan murtahin, maka ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika murtahin bisa mendatangkan barang bukti. Tetapi jika yang diperselisihkan adalah mengenai marhun, maka ucapan yang diterima adalah ucapan murtahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika rahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan dakwaannya. Karena Rasulullah SAW bersabda:
ﻓﺎﻟﺒﻴﻨﺔﻋﻠﻰﺍﻟﻤﺪﻋﻰﻭﺍﻟﻴﻤﻴﻦﻋﻠﻰﺍﻟﻤﺪﻋﻰﻋﻠﻴﻪ (رواه البيهفى )
Artinya:
“Barang bukti yang dimintakan dari orang yang mengklaim dan sumpah dimintakan dari orang yang diklaim”. (HR. Al-Baihaqi dengan sanad yang baik).
6.      Perlakuan Bunga Dan Riba Dalam Perjanjian Gadai
Dalam perjanjian gadai yang pada dasarnya adalah perjanjian utang piutang, dimungkinkan terjadi riba yang dilarang oleh syara’. Riba terjadi apabila dalam perjanjian gadai diharuskan memberi tambahan sejumlah uang atau presentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan oleh murtahin. Hal ini sering disebut dengan bunga gadai dan perbuatan yang dilarang oleh syara’.[15]
7.      Berakhirnya Hak Gadai
Gadai dipandang habis dengan beberapa keadaan seperti membebaskan hutang, hibah, membayar hutang dan lain-lain yang akan dijelaskan dibawah ini:
a.      Rahin melunasi semua utang
Yakni orang yang menggadaikan barang (rahin) telah melunasi semua kewajibannya kepada orang yang menerima gadai (murtahin).
b.      Rukun dan syarat gadai tidak terpenuhi
c.       Baik rahin maupun murtahin atau salah satunya ingkar dari ketentuan syara’ dan akad yang telah disepakati oleh keduanya.[16]
d.     Marhun diserahkan kepada pemiliknya
Jumhur ulama selain Syafi’i memandang habis rahn jika murtahin menyerahkan marhun kepada pemiliknya (rahin) sebab marhun merupakan jaminan utang. Jika marhun diserahkan, maka tidak ada lagi jaminan. Selain itu dipandang habis pula rahn jika murtahin meminjamkan marhun kepada rahin atau kepada orang lain atas seizin rahin.
e.      Gadai habis jika hakim memaksa rahin untuk menjual marhun, atau hakim menjualnya jika rahin menolak.
f.        Pembebasan utang, dalam bentuk apa saja, menandakan habisnya gadai meskipun utang tersebut dipindahkan kepada orang lain.
g.      Rahin meninggal
Menurut ulama Malikiyah, rahn habis jika rahin meninggal sebelum menyerahkan marhun kepada murtahin. Juga dipandang batal jika murtahin meninggal sebalum mengembalikan marhun kepada rahin.
h.      Gadai dipandang habis apabila marhun di tasharrufkan seperti dijadikan hadiah, hibah, sedekah dan lain-lain atas seizin pemiliknya.
Demikian kajian kita tentang Gadai ; Sifat, Hukum dan Rukunnya. Semoga bermanfaat




[1] Muhammad bin Qosim Al-Qosi, Fath Al-Qorib Al-Mujib, Al- Hidayah, Surabaya, (t. th), hlm. 32.
[2] Muhammad Amin Al-Kurdi, Tanwirul Qulub Fi Mu’amalati Allami Quyub, Darul Ikhya, Indonesia, (t.th), hlm. 288.
[3] Ibn Qudamah, Mugni Al-Muhtaj Mathba’ah Al-Imam, Mesir, Juz 11, hlm. 121.
[4] Abu Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahhab, Al-Hidayah, Surabaya, (t.th), Juz 1, hlm. 192.
[5] Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Ahyar Fii Ghayati Al-Ikhtisar, Al-Hidayah, Surabaya, (t.th), Juz 1, hlm. 262.
[6] Ibn Abidin, Radd Al-Mukhtar Syarh Tanwir Al-Abshar, Al Munirah, Mesir, Juz V, hlm. 340.
[7] Rachmat Syafi’i, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2004, hlm. 160.
[8] Al-Qur'an, Surat Al-Baqoroh Ayat 283, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al-Qur'an, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1999, hlm. 87.
[9] Mohammad, Sholikul Hadi, Pegadaian Syari’ah, Salemba Diniyah, Jakarta, 2003, hlm. 52.
[10] Al-Qur'an, Surat Al-Baqoroh Ayat 283, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al-Qur'an, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1999, hlm.87.
[11] Ibn Qudamah, Op Cit, Juz IV, hlm. 327.
[12] Muhammad Amin Al-Kurdi, Op Cit, hlm. 288.
[13] Mohammad Anwar, Fiqh Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1988, hlm. 56.
[14] Abu Bakar Al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim Minhaj Al Muslim, Darul Falah, Jakarta, 2000, hlm. 532.
[15] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang Piutang Gadai, Al-Ma’arif, Bandung, 1983, hlm. 55.
[16] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Al-Ma’arif, Bandung, 1996, Jilid 12.

0 Response to "GADAI ; SIFAT, HUKUM DAN RUKUNNYA"

Post a Comment

sumonggo tinggalkan salam