Shalat Dhuha dan Etos Kerja

Shalat Dhuha dan Etos KerjaShalat Dhuha dan Etos Kerja
Sahabat serba serbi pendidikan, pada kesempatan ini kita akan membahas tentang Shalat Dhuha dan Etos Kerja. Hidup dan persoalannya menjadi hal yang selalu menyibukkan seseorang bahkan sering menjadikannya putus asa. Dalam kehidupan yang serba terbuka sekarang ini persoalan hidup menjadi makin kompleks dan beragam, baik yang berasal dari diri seorang maupun yang datang dari luar. Kesiapan dan ketangguhan fisik, moral, intelektual dan emosi sangat diperlukan agar seseorang hidup bahagia dunia dan akhirat, sedang kelemahan dan kerapuhan pada segi-segi tersebut akan membawanya ke daur kenistaan, kesengsaraan dan kecemasan.
Sebagai kholifah Allah di bumi ini, manusia muslim dituntut berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi hidup dan persoalannya, ia harus kuat dalam imannya, tegar pula dalam sikap dan tingkah laku, agar berhasil membawa tugas Ilahiyah yang melekat pada dirinya secara utuh. Hanya saja sebagai manusia, ia sering lebih tertarik oleh kebahagiaan atau kesenangan yang dekat dicapai dan mudah diraih, ia lebih tertarik pula oleh persaingan yang menyibukkan, dan oleh daya syahwati yang membius, dikala itu hati yang semula kokoh menjadi goyah, dan pandangan yang tadinya terang menjadi kabur. Ia memerlukan pegangan, ia membutuhkan petunjuk untuk mengembalikan ke posisi yang benar.
Islam sebagai petunjuk Ilahi yang terakhir, telah menyiapkan tuntunan yang cukup, baik yang ada dalam Al-qur’an maupun yang dipercontohkan oleh nabi Muhammad saw. Diantaranya seperti yang disebutkan dalam surat Al-Baqoroh ayat 155, 156 dan 157.
وَلنبلونكم بشيئ من الخوف والجوع ونقص من الاموال والانفس والثمرات قلى وبشر الصبرين )155( الذ ين اذا اصابتهم مصيبه قلى قالو انا لله وانا اليه رجعون )156( اولئك عليهم صلوة من ربهم ورحمه قلى واولئك هم المهتدون)157(

Artinya: “Dan sungguh kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang abapila ditimpa mushibah, mereka mengucapkan,” innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.[1]

Manusia merupakan makhluk jasmaniah dan rohaniah. Sebagai makhluk jasmaniah manusia memiliki sejumlah kebutuhan jasmaniah seperti sandang, pangan, papan, udara dan sebagainya. Guna memenuhi kebutuhan jasmaniahnya itu manusia bekerja, berusaha, walaupun tujuan itu tidak semata-mata hanya untuk keperluan jasmaniah semata. Dalam pekerjaan manusia dapat memperoleh kepuasan rohaniah.[2]
Setiap manusia pada dasarnya wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah.
Sesuai Firman Allah swt.
وَقُل اعملوا فسيرى الله عملكم ورسوله والمؤمنونقلى وستردون الى علم الغيب والشهادة فينبئكم بما كنتم تعملون.(التوبه : 105  )

Artinya: “Dan katakanlah: “ Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rosul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan (Allah) yang mengetahui yang ghoib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”(Q.S. At-Taubah, 9 : 105).
Bekerja menurut Islam bukan semata-mata untuk kepentingan jasmaniah dan duniawiah, melainkan juga merupakan sarana pemenuhan kebutuhan mental spiritual dan keperluan ukhrawi, sehingga mengandung nilai ibadah. Karena mempunyai nilai ibadah tersebut, maka bekerja menurut konsep Islam tidak boleh sekedar bekerja untuk bekerja, atau bekerja untuk makan, melainkan harus berlandaskan nilai-nilai tertentu yang dapat disebut tata nilai dan etos kerja. Jadi tidak ada azas atau prinsip”menghalalkan segala cara”untuk memperoleh nafkah.
Motivasi kerja itu tidak hanya berwujud uang sebagai kebutuhan ekonomis yang pokok. Banyak orang sukarela dan senang bekerja secara terus menerus, sekalipun dia tidak lagi memerlukan tambahan  kekayaan dan uang. Meskipun pribadinya dan semua anggota keluarga sudah cukup memperoleh jaminan keamanan dan finansial, namun dia tetap menyukai pekerjaannya, dan mau terus bekerja. Sebab ganjaran paling manis dari kegiatan bekerja tadi ialah nilai sosial.[3]
Disamping punya nilai sosial, bekerja dapat membebaskan manusia dari kemiskinan, dan Islam menyuruh manusia untuk memerangi kemiskinan dan membencinya, karena kemiskinan akan mendorong kepada hal-hal berikut :
1.      Kekufuran dan jauhnya manusia dari agama dan iman.
2.      Kejahatan (terutama pencurian), penyuapan, dan pelanggaran terhadap hukum   dan undang-undang.
3.      Permusuhan antara orang miskin dan orang kaya.
4.      Jauhnya manusia dari standar hidup rata-rata.[4]
Sebagaimana penulis uraikan di atas bahwa manusia merupakan makhluk jasmaniah yang tidak lepas dari kebutuhan sandang, papan, pangan dan sebagainya. Guna memenuhi kebutuhan jasmaniahnya itu manusia bekerja dan berusaha, bukan semata-mata untuk kepentingan jasmaniah dan duniawiah, melainkan juga merupakan sarana pemenuhan kebutuhan mental spiritual dan keperluan ukhrawi, untuk itu dalam Islam juga di anjurkan  malaksanakan sholat sunnat dua rakaat atau lebih pada waktu pagi hari yang disebut sholat Dhuha. Karena begitu banyak keutamaan sholat Dhuha tersebut.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Hakim dan Thabroni.
قال الله عز وجل: ابن ادم لا تعخزن عن اربع ركعات فى اول النهار أكفك اخره (رواه حاكم و الطبرانى ورجا لم ثقات)

Artinya : ”Allah ‘azza wa jalla berfirman: wahai anak adam jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada permulaan siang (yaitu sholat dhuha), nanti akan ku cukupi kebutuhanmu pada sore harinya”.(Diriwayatkan oleh Hakim dan Thabrani dan semua perawinya dapat di percaya).[5]



[1]Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Jakarta, 1986, hlm.. 39.
[2]Faqih, Ainur Rohim, Bimbingan Dan Konseling Dalam Islam, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm.. 116.
[3]Dr. Kartini Kartono, Hygiene Mental Dan Kesehatan Mental Dalam Islam, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 212.
[4]Khalil Al-Musawi, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda: Resep-resep Sederhana Dan Mudah Membentuk Kepribadian Islam Sejati; Terjemahan, Ahmad Subandi, Lentera, Jakarta, 1998, hlm. 169.
[5]Saiyid Sabiq, Fiqih Sunnah II, Terjemahan Mahyuddin Syaf, PT Al-Ma’arif, Bandung, 1994, hlm. 66.

0 Response to "Shalat Dhuha dan Etos Kerja"

Post a Comment

sumonggo tinggalkan salam