Pendidikan adalah usaha yang dengan sengaja dirancang
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia.[1]
Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya
pendidikan, guru mempunyai peran yang sangat penting, bahkan sebagian besar
terletak pada kegiatan guru dalam proses pembelajaran anak didik kearah
tercapainya tujuan pendidikan. Karena peranannya itu, maka wajar dan bahkan
menjadi suatu keharusan untuk memberikan penghargaan dan penghormatan terhadap
profesinya, baik oleh peserta didik, masyarakat maupun pemerintah. Penghargaan
dan penghormatan tersebut diwujudkan dalam bentuk memberikan jaminan yang
mendorong semangat hidup dan motivasi kerja para guru dalam melaksanakan
profesinya yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan mutu pendidikan.
Upaya-upaya pemberdayaan guru tersebut meliputi pada hal-hal; pengembangan
karier, peningkatan mutu guru, mengatasi beban psikologis dan peningkatan
kesejahteraan.
Dewasa ini, berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan
mutu guru yang telah berdinas di sekolah baik melalui program pendidikan
pra-jabatan (pre-service education) maupun program dalam-jabatan (in-service-education).
Program pendidikan pra-jabatan (pre-service education) adalah pendidikan
persiapan mahasiswa yang ditempuh di Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK)
dengan dibekali kemampuan akademik dan kemampuan praktis yang tinggi
sebagaimana disyaratkan untuk calon guru. Sedangkan program dalam-jabatan (in-service-education)
sering disebut juga pendidkan, pelatihan dan pengembangan yang dilaksanakan
atas prakarsa instansi/ departemen, kelompok maupun individu.[2]
Tujuan dari kedua program tersebut adalah untuk meningkatkan ketrampilan
mengajar, penguasaan terhadap materi ajar, serta komitmen dan motivasi guru
dalam mengajar. Namun program-program tersebut masih memerlukan evaluasi untuk
mengetahui sejauhmana relevansi dan pengaruhnya terhadap peningkatan mutu
pendidikan di sekolah. Beberapa tela’ah yang dilakukan menunjukkan bahwa
program-program tersebut benar dapat meningkatkan pengetahuan guru, tetapi
belum terbukti pengaruhnya yang signifikan terhadap peningkatan hasil belajar
siswa. Betapapun besar dan pentingnya program-program tersebut terutama program
dalam-jabatan baik yang diprakarsai oleh instansi/ departemen, kelompok maupun
individu pada akhirnya terpulang kepada guru itu sendiri. Dalam artian maukah
guru tersebut membina dan mengembangkan dirinya sendiri.[3]
Selain itu pengaruh informasi yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus
menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta mobilisasi masyarakat yang dinamis.[4]
Berdasarkan kenyataan itulah, maka guru-guru perlu
memperoleh pembinaan (supervisi) yang teratur dan berencana.
Secara etimologi pembinaan (supervisi) guru sering
diartikan sebagai serangkaian usaha bantuan kepada guru terutama bantuan yang
berwujud layanan profesional yang dilakukan oleh Kepala Sekolah, Penilik
Sekolah, dan Pengawas serta Pembina lainnya untuk meningkatkan profesi dan
hasil belajar.[5]
Sedangkan perencanaan itu sendiri adalah persiapan menyusun sesuatu keputusan
berupa langkah-langkah penyelesaian suatu masalah atau pelaksanaan suatu
pekerjaan yang terarah pada pencapaian tujuan tertentu.[6]
Jadi perencanaan supervisi pendidikan adalah persiapan penyusunan sesuatu
keputusan berupa langkah-langkah penyelesaian berbagai proses pemecahan masalah
pengajaran sebagai bantuan layanan profesional guru yang dilakukan oleh Kepala
Sekolah, Penilik Sekolah, dan Pengawas serta Pembina lainnya untuk meningkatkan
profesi dan hasil belajar yang yang efektif dan efesien.
Dari pengertian supervisi pendidikan tersebut di atas,
jelas terlihat betapa pentingnya suatu perencanaan dalam pembinaan guru
(supervisi pendidikan), maka memberikan konsekuensi adanya keahlian profesional
dalam manajemen dan keahlian interdisipliner dalam pemecahan permasalahan
pengajaran. Untuk itu, jabatan sebagai pengawas/ supervisor harus dipegang oleh
orang-orang yang benar-benar kompeten dibidangnya, berasal dari kalangan
pendidikan, memiliki latarbelakang yang sesuai, serta disiapkan secara
sistematis melalui pendidikan dan/ atau pelatihan baik pendidikan pra-jabatan (pre-service
education) maupun pendidikan dalam-jabatan (in-service-education).
Fungsi-fungsi pengawasan pada semua jenjang pendidikan
dioptimalkan sebagai sarana untuk memacu mutu pendidikan. Pengawasan
dimaksudkan dengan menggunakan aspek-aspek akademik daripada aspek
administratif sebagaimana berlaku selama ini. Namun dalam kenyataanya,
penggunaan aspek administratif lebih
diutamakan. Hal tersebut, terlihat dari peran serta kepala sekolah yang lebih
optimal karena sering bertatap muka daripada peran para pengawas/ supervisor
yang jarang atau kadang-kadang dalam mengadakan survei melalui kunjungan
kelals/ sekolahan. Kegiatan kepengawasan pada kunjungan kelas/ sekolahan
menitik beratkan pada aspek administratif pada pengelolaan mekanisme kegiatan
pendidikan yang dikelola oleh sekolah/ madrasah selalu dioptimalkan, sedangkan
upya-upaya perbaikan pembinaan pada aspek kurikulum, PBM, kegiatan ekstra dan
evaluasi masih kurang diperhatikan, sehingga permasalahan-permasalahan
pengajaran yang dialami oleh guru sebagian besar pengawas kurang tahu. Praktik
pembinaan secara tradisional dalam bentuk inspeksi atau perintah dan teguran
untuk mencari-cari kesalahan pada guru masih diberlakukan, sehingga fungsi
pengawas sebagai pembinaan dan perbaikan pengajaran terkesan otoriter/
diktator. Hal tersebut mengakibatkan kurang terdiagnisisnya
permasalahan-permasalahan pengajaran yang dialami oleh guru. Bentuk-bentuk
program pelatihan atau penataran untuk peningkatan kemampuan yang sifatnya
khusus, masih kurang efektif dan efisien. Kenyataan tersebut terlihat dari
masih rendahnya penguasaan bahan ajar dan ketrampilan dalam menggunakan
metode-metode mengajar yang inovatif dan bervariasi dalam Proses Belajar
Mengajar (PBM).
Persoalan yang sama, bahkan dengan kondisi yang lebih
parah terjadi dilingkungan Departemen Agama. Sebanyak 60% guru madrasah (MI,
MTs dan MA) tidak memiliki kualifikas yang memadai sebagai guru, sedangkan 20%
guru mengajar di luar bidang keahliannya dan dari seluruhnya hanya 20% yang
lanyak dari kualifikasi pendidikannya.[7]
Pengelolaan guru dalam konteks Otonomi Daerah diatur
dalam UU No. 22/ 1999 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 25/ 2000 tentang
Kewenangan Pusat dan Propinsi dan Kabupaten/ Kota sebagai Derah Otonom, dan UU
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 66 tentang
pengawasan disebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan dan
komite sekolah/ madrasah melaksanakan pengawasan atas penyelenggaraan
pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan
masing-masing.[8]
Melalui pengelolaan guru yang desentralisitik, diharapkan daerah mampu
merencanakan pengelolaan dan pembinaan guru secara otonom sesuai dengan
kebutuhan masyarakat sekitar. Hubungan lembaga pendidikan dengan masyarakat
semakin erat dalam menjalin kerja sama, saling memberi dan saling menerima.[9]
Sinergisitas daerah, lembaga pendidikan dan masyarakat dalam meningkatkan mutu
pendidikan yang bersifat partisipatoris, merupakan salah satu pendekatan yang
efektif dalam perencanaan berdasarkan sistem.
Hal tersebut memberikan kesempatan dan tanggungjawab
kepada daerah, khususnya dalam bidang supervisi pendidikan yang dilakukan oleh
Kepala Sekolah, Penilik Sekolah, dan Pengawas serta Pembina lainnya dalam
meningkatkan mutu pendidikan.
[1]Piet A. Sahertian, Konsep Dasar Supervisi
Pendidikan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. v.
[2] Sudarwan Danim, Inovasi
Pendidikan Dalam Upaya Peninkatan Profesi Tenaga Pendidik, Pustaka Setia,
Bandung, 2002, hlm. 34-35.
[3] Hadirja Praba, Wawasan
Tigas Keguruan dan Pembinaan Pendidikan Agama Islam, Friska Gema Insani,
Jakarta, 2000, hlm. 107.
[5]Ali Imron, Pembinaan Guru Di Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 9.
[6]Hadi Nawawi, Administrasi Pendidikan, Guru
Agung, Jakarta, 1981, hlm. 41.
[7] Fasli Jalal dan Dedi
Supriyadi (ed), Reformas Otonomi Dalam Konteks Otonomi Daerah, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta, 2001, hlm. 262.
[8] UU RI No. 22/ 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, PT. Sekala Jalma Karya, Cet. I,
Jakarta, 2003, hlm. 63.
[9]Made Sudarta, Perencanaan Pendidikan
Partisipatoris Dengan Pendekatan Sistem, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1999,
hlm. 35.
0 Response to "Pentingnya Supervisi dalam Pendidikan"
Post a Comment
sumonggo tinggalkan salam