Pembacaan Manaqib adalah fenomena sosial yang keberadaannya sudah menjadi tradisi berabad-abad lamanya. Dalam kacamata antropologi, keber- adaan tradisi ini tentunya tidak ada dengan sendirinya akan tetapi bersing- gungan erat dengan konsepsi-konsepsi khusus mengenai pergeseran masya- rakat dan kebudayaan menuju kepada perubahan yang melalui proses-proses diantaranya; internalisasi, sosialisasi, akulturasi, evolusi, difusi, asimilasi, hingga pembaruan atau inovasi
Tradisi pembacaan manaqib juga keberadaannya menyejarah dengan budaya dan psikologi masyarakat dari waktu ke waktu yang kemudian keber- adaanya tentunya berpengaruh pada perubahan tingkah laku masyarakat di sebagian atau di semua aspek kehidupan masyarakat pelakunya. Selain meru- pakan aspek seremonial, manaqiban juga memiliki aspek mistikal. Sebenarnya kata manaqiban berasal dari kata ‘ manaqib’ (bahasa Arab), yang berarti biografi, kemudian ditambah dengan akhiran ‘an’ (bahasa Indonesia) menjadi manaqiban yang berarti kegiatan pembacaan manaqib (biografi) Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani, seorang wali yang sangat legendaris di Indonesia (Soekanto, 2002: 61-62)
Isi kandungan kitab manaqib itu meliputi silsilah nasab Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan karomah-karomahnya, di samping itu tercantum juga doa-doa bersajak (nadham) yang bermuatan pujian dan tawassul (berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui perantaraan) Syaikh ‘Abdul Qodir. Harapan para pengamal manaqib untuk mendapat keberkahan dari pembacaan manaqib ini didasarkan atas adanya keyakinan bahwa Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani adalah quthb al-’auliya (wali quthub) yang sangat istimewa, yang dapat mendatangkan berkah dalam kehidupan seseorang
Manaqib dan Tawasul
Mengenai masalah tawasul dan tabarruk, Said Ramdhan al-Buthi me-
nyampaikan bahwa tawassul dan tabarruk adalah dua kalimat dengan satu arti
yang kalau dalam Ushul Fiqh disebut dengan
tanqihul manath, dengan menjadikan bagian-bagian
kecil (tabarruk) dari satu induk
(tawassul) dima- sukkan ke dalam induk tersebut.
Namun, al-Buthi dengan tegas
mengatakan bahwa tawassul adalah tindakan sunnah dengan bukti banyaknya dalil nash hadits yang shahih. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa beliau pernah menyimpan beberapa
helai rambut Nabi. Rambut tersebut
beliau simpan sebagai obat
bagi sahabat yang sakit dengan mengharap barokah Nabi (Fiqh al-Sirah:177-178).
Pada masa Rasulullah saw. seperti tertulis dalam kitab Al Hikam dimana
Rasulullah saw. pernah menyuruh Sahabat Ali kw untuk menemui Uways al Qarny r.a
untuk memintakan ampunan kepada Allah SWT. Karena Uways ini menurut Nabi saw.
akan menjadi salah satu raja di surga.
Tawasul berupa Amal
Hadits tentang wasilah berupa amal yang bersumber dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bercerita dalam hadits ini yang cukup panjang salah satu intinya adalah ada tiga orang yang tersesat di dalam gua, lalu tiba-tiba sebuah batu besar menutupi mulut gua. Namun tiada harapan kecuali berdoa kepada Allah agar batu bisa tersingkir. Ketika satu demi satu orang berdoa, mereka berwasilah dengan amal sholeh masing-masing; orang pertama berwasilah pada amal dimana ia pernah memberikan susu kepada ibudanya padahal anaknya sangat membutuhkan; “Aku lebih mengutamakan ibu terlebih dahulu dari pada anak-anakku meskipun anakku merengek meminta.” Adapun wasilah amal orang kedua adalah kemampuan orang kedua ini meng- hentikan niat hendak mau menggauli sepupu perempuannya padahal sudah memberikan uang 100 dinar, namun tidak jadi karena sepupu perempuannya meminta menikahkannya, akhirnya membatalkan niat jahat tersebut. Adapun orang ketiga memiliki wasilah amal dimana dia memakan hak gaji pegawai. Ketika ditegur “takutlah kepada Allah dan janganlah mendzalimi aku.” Oleh karena merasa takut kepada Allah, setelah sekian lama orang ini memberikan ganti uang hak pegawai itu berupa peternakan lembu dan anak-anaknya yang telah berkembang biak yang modalnya diambil dari hak pekerja tersebut. Dari ketiga wasilah orang tersebut Allah menggerakkan batu besar yang menutupi gua sehingga mereka bertiga bisa lepas dari musibah (H. R. Bukhari-Muslim). Dari hadits tersebut di atas, maka sebuah amal adalah wasilah yang dapat mengantarkan kita kepada Allah SWT. Dengan amal ini juga boleh jadi dapat memberikan pertolongan terhadap derita seorang hamba karena tertimpa musibah seperti derita tiga orang yang terjebak di dalam gua
Artinya:
Wahai para hamba Allah dan tokoh-tokohnya Allah tolonglah kami karena
Allah.
Jadilah tuan semua penolong kami karena Allah Subhanahu wa Ta’ala … semoga kami berhasil meraih karunia
Allah.
Shalawat Allah semoga
terlimpah atas al-Kafi (yang mencukupi yakni Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam), dan semoga keselamatan dari Allah
terlimpah atas asy-Syafi (yang
menyembuhkan yakni Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa
sallam).
Dengan
kemuliaan Muhyiddin (yakni Syaikh ‘Abdul Qadir)… lepaskanlah kami dari berbagai
macam musibah wahai Allah…
Wahai para wali
quthub, wahai orang-orang yang baik, wahai
para tuan-tuan dan para kekasih…
Dan kalian
wahai orang-orang yang berakal sempurna… kemarilah dan tolonglah kami karena
Allah.
Kami meminta kepada kalian, kami meminta kepada kalian…
Karena kedekatan (kalian di sisi
Allah) kami mengharap kepada kalian.
Untuk suatu perkara kami
menghadapkan diri kepada kalian…
maka kencangkanlah tekad kalian
(untuk menolong kami) karena Allah.”
Pembacaan manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jailani merupakan inti acara,
mereka membacakan manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jailani yang ditulis oleh Syekh
Ja’far al-Barzanji. Adapun tema-tema dalam manaqib Syekh Abdul Qodir al-Jailani
adalah sebagai berikut;
1.
Nasab Syekh
Abdul Qodir al-Jailani
2.
Kisah kelahiran Syekh Abdul Qodir al-Jailani
3.
Kisah belajar Syekh Abdul Qodir al-Jailani
4.
Kisah budipekerti
Syekh Abdul Qodir al-Jailani
5.
Kisah tentang
pakaian Syekh Abdul Qodir al-Jailani
6.
Kisah pertemuanya
dengan nabi Khidir
7.
Kisah peribadatan
Syekh Abdul Qodir al-Jailani
8.
Kisah dasar-dasar perbuatan Syekh Abdul
Qodir al-Jailani
9.
dll
Acara dilanjutkan dengan pembacaan qasidah karya Habib Abdullah bin
Husain bin Thahir Ba’lawi. Rangkaian acara manaqib diakhiri dengan do’a penutup
yang dipimpin oleh mursyid atau salah satu kyai yang ditunjuk oleh
Setelah selesainya acara manaqib, para jamaah menikmati hidangan
alakadarnya yang sudah tersedia. Terdapat perbedaan dalam hidangan wali- mah
yang disajikan dalam manaqib rutinan dan manaqib hajatan. Dalam manaqib
rutinan, hidangan disajikan dengan alakadarnya, akan tetapi dalam manaqib
hajatan ada beberapa aturan yang harus dipenuhi oleh shahibul hajat, di
antaranya; orang yang memasak harus mempunyai wudlu, dan tidak boleh berbicara.
Hidangannya meliputi: air minumnya susu dan snacknya roti tawar. Makannya nasi
uduk dan lauk pauknya seperti ayam suwir, telur bacem, dan lain-lain.
Hikmahnya untuk melestarikan budaya dari para leluhur kita selama tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an dan Hadits, mengharapkan limpahan berkah dari Syekh Abdul Qodir al-Jailani, supaya tergolong orang-orang yang cinta kepada waliyullah, mengandung nilai-nilai pendidikan akhlak, menye- diakan majlis untuk bertemunya para jama’ah dan masyarakat. Persepsi masyarakat bahwa manaqib merupakan kegiatan yang positif, penghormatan terhadap waliyullah Syekh Abdul Qodir al-Jailani, mendapatkan rahmat dan berkah, kepuasan batiniyah, menjaga dan melestarikan tradisi Nahdlatul Ulama’.
Ber-istighatsah kepada
Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani dan para wali dalam memohon pertolongan dan
dilepaskan dari kesulitan adalah merupakan perbuatan yang menyalahi syari’at
Islam. Dalam ritual manaqiban tersebut terdapat kemungkaran yaitu
ber-istighotsah dan berdoa kepada selain Allah, niscaya ini sudah cukup menjadi
alasan yang sangat kuat untuk meninggalkan tradisi ini. Adanya ghuluw (sikap berlebih-lebihan) dalam
menyanjung dan memposisikan Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani. Ini bisa dilihat
jelas oleh siapa- pun yang membaca dan memahami kitab manaqib.
0 Response to "PENGERTIAN, DALIL DAN TATA CARA MEMBACA MANAKIB"
Post a Comment
sumonggo tinggalkan salam