GAMBARAN
UMUM DESA SUNGGINGAN
A.
Letak Geografis Desa
Sunggingan
Sunggingan terletak disebelah barat pusat kota Kudus berjarak satu
Km. Desa ini mudah dijangkau karena berada di jalan Kudus-Jepara dari pusat
kota Kudus dapat menggunakan jasa angkutan berwarna ungu atau biru muda dengan
hanya cukup membayar Rp 1.000,- dan memakan waktu + 5 menit. Untuk lebih
memudahkannya, di desa Sunggingan terdapat jalan yang diabadikan untuk
mengenang jasa pendahulunya yaitu kyai The Ling Sing dengan nama Jalan Kyai Telingsing.
Desa Sunggingan yang berdomisili di daerah perkotaan
tergolong padat, tiap gang yang satu dengan gang lain berdekatan bisa berderet lima rumah atau lebih.[1]
Bentuk rumahnya cukup beragam, seperti bentuk gebyok, gaya Spanyol hingga gaya Jepang,
yaitu rumah besar yang atap rumahnya dibentuk lulang kecil-kecil dan ditaat
secara artistik berseni tinggi dan terkesan mewah, keragaman bentuk rumah,
kepadatan, dan tak satupun rumah yang murni berdinding bambu atau kayu atau
dengan kata lain semua rumah telah berbahan batu atau tembok, serta jalanan
maupun gang yang secara umum beraspal mengesankan perkampungan urban[2]
meskipun norma-norma maupun pranata sosial masih lebih didasarkan selera
pemiliknya karena mencairnya pengaruh luar yang cepat meluas dan masuk ke desa
Sunggingan.
Di desa Sunggingan tidak ada pohon langka atau keramat
yang patut dicatat tetapi telah langka unggas-unggas liar kecuali burung-burung
piaraan dalam sangkar yang biasa dimiliki oleh orang-orang kelas menengah
keatas. Kelangkaan unggas-unggas liar, termasuk jenis serangga dan
binatang-binatang yang hidup di air.
Binatang buas tidak diketemukan, lebih-lebih anjing
yang secara ideologis amat dijauhi oleh umat Islam karena najisnya yang
dikategorikan berat (Mugholladhoh)
maupun jauhnya rahmat Allah SWT bagi yang rumahnya terdapat anjing. Itulah
sebabnya masyarakat desa Sunggingan akan senantiasa membunuh setiap anjing yang
masuk.
Desa Sunggingan Kecamatan Kota Kudus memiliki luas
3,4575 Ha.[3] Fasilitas
yang tersedia antara lain sarana peribadatan; dua buah masjid, 10 musholla,
sarana kesehatan meliputi; satu buah puskesmas, satu buah rumah bersalin, dua
orang dokter, dan lima
orang perawat. Sarana perekonomian meliputi; pasar umum, jumlah toko 15 buah,
kios 4 buah, warung 12 buah, koperasi simpan pinjam satu unit, badan kredit
(BRI) satu unit, industri besar yaitu; pabrik rokok Pamor, perusahaan angkutan
truk, home industri meliputi; konveksi, catering, bengkel, mebel antik, toko
besi, toko kain, counter HP, sablon dan wartel. Sarana pendidikan meliputi; satu
buah TK, satu buah MTs dan MA yaitu MTs dan MA Hasyim Asy’ari dan satu buah
Madrasah Ibtidaiyah sederajat SD.[4] Sarana
kesenian seperti terbangan yang berada di masjid kyai The Ling Sing. Sarana
prasarana lain yang terdapat di desa Sungginan adalah rumah potong ternak yang
berdekatan dengan sungai besar, yaitu kali gelis.
Di bagian utara desa Sunggingan terdapat makam kyai The
Ling Sing, orang yang dipercaya sebagai cikal bakal berdirinya desa Sunggingan,
serta masih terdapat rumah peninggalan kyai The Ling Sing yang terawat dengan
baik.[5]
Berdasarkan posisinya, desa Sunggingan berbatasan
langsung dengan desa-desa sebagai berikut : [6]
1. Sebelah utara
berbatasan dengan desa Kajeksan
2. Sebelah timur
berbatasan dengan desa Panjunan
3. Sebelah selatan
berbatasan dengan desa Ploso
4. Sebelah barat
berbatasan dengan desa Purwosari
B.
Sejarah Lokal Desa Sunggingan
Tidak banyak yang dapat diketahui
mengenai asal usul desa Sunggingan, nama dan entitas sosiologi masyarakat
Sunggingan terhitung tua karena Sunggingan merupakan desa Kauman Santri atau Kauman
sebagaimana desa Kauman-Kauman lain, seperti Kauman di Demangan, Kauman di
Kajeksan Kauman di Desa Nganguk, karena memperhatikan pentingnya arti
dokumentasi serta melemahnya budaya ndongeng dari generasi senior ke yang lebih
yunior, khususnya di era pada umumnya masyarakat yang telah melupakan nilai
historis sebuah daerah. Seperti dijelaskan oleh Hj. Alifah.[7]
Menurut
cerita dari eyang saya, kalau kita ingin tahu tentang sejarahnya desa
Sunggingan, ada hubungannya dengan sejarahnya kyai The Ling Sing. Kyai The Ling
Sing itu adalah seorang yang beragama Islam dan ia berasal dari negara Tiongkok
(Cina). Beliau merantau kesini untuk berdagang dan menyebarkan ajaran agama
Islam. Itulah sebabnya beliau bernama The Ling Sing karena dari namanya sudah
kelihatan dari Cina.
Berbeda dengan keterangan yang
diberikan oleh Fadhlan[8]
yang berumur 70 th yang berprofesi sebagai tukang kayu, ia mengatakan bahwa :
Dahulu, Sunggingan
itu berdiri karena jasa kyai The Ling Sing yang suka sama masalah yang berbau
seni, beliau itu sukanya seni lukis, entah dari mana dia bisa melukis, tapi ndelalah yang saya ketahui ia bisa
melukis. Itulah mengapa dikatakan Sunggingan.
KH Nur Sa’di,[9]
juga mengemukakan pendapatnya tentang sejarah Sunggingan yang sebelumnya selalu
disebutkan nama kyai They Ling Sing, yaitu sebagai berikut :
Sebenarnya
kyai The Ling Sing itu orangnya sangat ulet serta telaten, selain dia itu seorang pedagang yang ulung, dia juga
seorang pemeluk agama yang taat. Dikisahkan bahwa kyai The Ling Sing adalah
pemimpin umat sebelum Sunan Kudus setelah beliau lanjut usia beliau lantas
mencari pengganti dalam mencari beliau ingak-inguk
lantas jadilah desa Nganguk Wali. Dapat dikatakan bahwa kyai The Ling Sing
adalah guru daripada Sunan Kudus. Selain itu, beliau adalah seorang yang supel (bisa bergaul dengan golongan
lain) sehingga beliau tidak membedakan status seseorang.
Pendapat KH Nur Sa’di juga diperkuat
oleh penuturan dari Mbah Aminah[10]
yang berumur 75 th.
Zaman biyen, mbah kyai The Ling
Sing iku asale soko Cino, tiyang sae,
gampang kumpul sareng wong-wong cilik, piyambake ora mbedakno golongan priyayi,
poro wedono lan wong-wong cilik. Kyai The Ling Sing iku senenge lukis lan
gurune Sunan Kudus mbyen sedurunge Sunan Kudus dadi pemimpin umat Islam ning
Kudus kyai The Ling Sing wis
teko ning Kudus ndisik
Bapak Jayus[11]
berumur 80 th bercerita tentang asal muasal dikatakan Sunggingan, yaitu :
Sunggingan itu dulunya berasal dari
kata nyunggi yang berarti nglukis.
Kyai They Ling Sing dulu suka mengukir disini, jadi desa ini dinamakan
Sunggingan untuk mengenang jasa kyai The Ling Sing saat masih hidup.
Berbagai pendapat tentang sejarah
Sunggingan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya selalu berhubungan erat
dengan sejarah hidup kyai The Ling Sing. Pendapat-pendapat diatas juga
diperkuat oleh pendapat Sholikin Salam yang menyatakan bahwa kyai The Ling Sing
adalah Guru dari Sunan Kudus[12].
Selanjutnya Sholikin Salam menegaskan sebagai berikut : [13]
Pada
awalnya Sunan Kudus menuntut ilmu agama kepada kyai The Ling Sing yang pada
saat itu adalah satu-satunya pemuka agama yang terdapat di daerah Kudus itu
sendiri. Untuk mengembangkan agama Islam khususnya di daerah Kudus, Sunan
Kudus, dengan bantuan kyai The Ling Sing, mendirikan beberapa masjid yang sekarang
ini masih berdiri dan dirawat dengan baik oleh masyarakat sekitarnya. Masjid
tersebut antara lain; masjid Nganguk Wali, masjid Demangan dan masjid Kauman
Loram Kulon. Itulah beberapa masjid yang dapat dikatakan “ besar “, tapi banyak
didirikan masjid yang kecil untuk memperlancar proses penyebaran agama Islam di
Kudus.
Mengenai wafatnya kyai The Ling
Sing, tidak dapat diketahui secara pasti, akan tetapi makam beliau terletak di
bekas rumahnya yang sampai sekarang masih dirawat dengan baik oleh keturunannya
(dahulu kyai Nur Sa’di) dan disamping rumahnya terdapat masjid Kyai Telingsing
yang tergolong masih baru (pembangunannya) untuk mengenang jasa-jasa kyai The
Ling Sing dalam menyebarkan agama Islam di Kudus.
C. Kondisi Sosial Ekonomi Lokal Desa
Sunggingan
Kondisi
ekonomi (mata pencaharian) desa Sunggingan cukup beragam. Pada bulan febuari
2002 penduduk Sunggingan tercatat 1.534 jiwa. Dilihat dari segi jenis mata
pencaharian yang telah dilakukan oleh masyarakat di desa Sunggingan dapat
diperinci pada tabel berikut : [14]
TABEL I
MATA
PENCAHARIAN (BAGI 10 TAHUN KEATAS)
No.
|
Mata
Pencaharian
|
Jumlah
Penduduk
|
1
2
3
4
5
6
7
|
Buruh tahu
Pegawai
Pensiunan
Wiraswasta
Nelayan
Pedagang
Pengusaha
|
150 Orang
1030 Orang
5 Orang
293 Orang
- Orang
53 Orang
3 Orang
|
Total
|
1534 Orang
|
Pada
pembahasan ini, akan dibagi menjadi dua pokok pembahasan yaitu pembahasan
mengenai golongan sosial dan golongan ekonomi.
1. Penggolongan Sosial
Seperti halnya Koentjoroningrat maupun Geetzs membagi
secara tri kotomi yang sekaligus menunjukkan lapisan sosial yang ditemukan di
desa Sunggingan tiga lapisan sosial, yaitu; (1) Golongan orang biasa (2) Golongan
pegawai/karyawan dan (3) Golongan pengusaha. [15]
Golongan
yang biasa terdiri atas buruh tani, buruh industri, buruh bangunan yang secara
administratif tercatat sebanyak 150 orang[16]
tetapi angka ini tidak sepenuhnya tepat karena ada sebagian golongan kedua
tetapi masih dalam golongan pertama. Golongan ini masih mengidentifikasikan
diri sebagai wong ora duwe (orang
tidak punya) dan identik dengan tiyang
alit (masyarakat yang berstrata rendah). [17]
Diantara
golongan biasa adalah menengah selain pegawai negeri dan karyawan, ABRI, dan
pensiunan termasuk pedagang, pengusaha home
industri seperti konveksi, jasa angkutan, pedagang, warung makan, tukang
becak.
Diantara
golongan ini adalah golongan atas terdiri dari pengusaha seperti pemilik pabrik
tahu, pabrik kue, pabrik tempe ,
warung makan dan pabrik rokok.
2. Penggolongan Ekonomi
Pada
penggolongan ekonomi, akan dibahas mengenai dua golongan, yaitu :
a. Golongan pertama
(golongan atas)
Golongan ini
teridentifikasi sebagai orang yang berlebihan. Berikut ini disampaikan contoh
pola ekonomi cukup dari keluarga Setia Budi Utama. Ia adalah karyawan dari
sebuah perusahaan rokok di Kudus.
Penghasilan satu tahun [18]
Pendapatan pertahun :
Gaji
satu bulan Rp.2.000.000 X 12 bulan =
Rp. 24.000.000,-
Penggunaan :
1) Indek rata-rata
per hari 1 ½ Kg beras dan lauk pauk
dan bahan bakar Rp. 15.000 X365 = Rp. 5.475.000,-
2) Pajak 1 Tahun =
Rp. 80.000,-
3)
Pajak listrik = Rp. 216.000,-
4)
Sumbangan sosial
rata-rata Rp. 10.000X 1 Tahun = Rp. 800.000,-
5)
Anggaran
pakaian = Rp. 500.000,-
6) Menyambut lebaran = Rp. 500.000,-
7)
Perawatan rumah = Rp. 500.000,-
8)
Anggaran Kesehatan = Rp. 500.000,- +
Jumlah
Total =
Rp. 8.565.000,-
Pendapatan
= Rp.
24.000.000,-
Pengeluaran
= Rp. 8.565.000,- -
Saldo (plus) =
Rp. 16.000.000,-
Dengan kelebihan
pertahun itulah Setia Budi Utama telah membangun rumah yang cukup baik dan
mapan, selain tidak terlalu berat memikul beban keluarganya karena dia hanya
menanggung beban seorang isteri serta 2 orang anak yang berumur 9 th dan 3
bulan.
b. Golongan kedua
(golongan menengah)
Golongan kedua atau
golongan menengah merupakan golongan yang sedang dalam perekonomiannya. Berikut
ini akan diberikan contoh pola ekonomi Junaidi sebagai berikut :[19]
Pendapatan pertahun :
1 hari @ Rp. 30.000 X 30
x12 =
Rp.10.800.000,-
Penggunaan :
1) Rata-rata 1
hari Rp. 7500 X 365 =
Rp. 2.737.500,-
2) Listrik 7 X12 =
Rp. 300.000,-
3) Pajak =
Rp. 40.000,-
4) Menyambut
lebaran =
Rp. 200.000,-
5) Kesehatan =
Rp. 300.000,-
6) Perbaikan rumah = Rp. 150.000,- +
Jumlah Total =
Rp. 4.027.000,-
Pemasukan = Rp.10.800.000,-
Pengeluaran = Rp. 4.027.000,- -
Hasil
Plus =
Rp. 5.983,000,-
Dengan kelebihan
penghasilan tersebut, Junaidi yang kesehariannya berprofesi sebagai mekanik
bengkel motor sederhana di tepi jalan sudah merasa cukup dengan penghasilannya
sebagai mekanik, sebab bengkelnya sudah dikenal oleh banyak pelanggan.
c. Golongan ketiga
(golongan bawah)
Golongan ketiga dapat
dikatakan sebagai wong ora duwe.
Berikut ini akan diberikan contoh pola ekonomi Anton sebagai berikut :[20]
Pendapatan pertahun :
1 hari @ Rp. 10.000 X 30
x12 =
Rp.3.650.000,-
Penggunaan :
7) Rata-rata 1
hari Rp. 7500 X 365 =
Rp.2.737.500,-
8) Listrik 7 X12 =
Rp. 300.000,-
9) Pajak = Rp. 40.000,-
10) Menyambut
lebaran = Rp. 200.000,-
11) Kesehatan =
Rp. 300.000,-
12) Perbaikan rumah = Rp. 150.000,- +
Jumlah Total = Rp. 4.027.000,-
Pemasukan = Rp. 3.650.000,-
Pengeluaran = Rp. 4.027.000,- -
Hasil
Minus = Rp. 373.000,-
Untuk menutupi
kekurangannya, sebab ia berprofesi sebagai tukang becak, ia dibantu oleh kedua
anaknya, tambahan ala kadarnya dari anaknya dengan bekerja serabutan seperti
menjadi kuli bangunan serta isterinya yang membuka warung makan dirumahnya.
Setelah
dilihat sekilas tentang kondisi ekonomi masyarakat desa Sunggingan, untuk
memperjelas pebedaan kualifikasi mengenai penggolongan masyarakat tersebut akan
dijelaskan seperti tabel berikut : [21]
TABEL II
KLASIFIKASI LAPISAN MASYARAKAT DI
DESA SUNGGINGAN [22]
Kaya (lapisan atas)
|
Cukup
(lapisan menengah)
|
Miskin
(lapisan bawah)
|
Rumah permanen, dinding, keramik, tembok, halaman di
pekarangan, taman, genteng press, aksesoris ruangan, mobil, motor, HP,
telepon CD player, kulkas, komputer, AC.
|
Rumah permanen, dinding keramik,
tembok, sebagian di pekarangan taman tidak ada, aksesoris tidak ada, motor,
TV, CD player, kompor gas tidak ada, telepon
tidak ada.
|
Rumah Semi Permanen, lantai tanah,
sebagian dinding, sepeda ontel, sumur timba.
|
Klasifikasi
yang terdapat di masyarakat, terutama di desa Sunggingan, tidak bisa digunakan
untuk menentukan taraf perekonomian masyarakat sesungguhnya. Secara khusus,
masyarakat di desa Sunggingan dapat di golongkan pada masyarakat yang cukup
(lapisan menengah) bahkan terdapat sedikit yang di golongkan kaya (lapisan
atas), sebab letak geografis desa yang dapat dikatakan daerah perkotaan dan daerah
(desa Sunggingan) yang berkultur Nasional Tradisionalis.[23]
[1] Dapat dicontohkan bahwa; rumah Oky Sudarto yang berada
di tepi jalan berderet ke belakangnya rumah Fadhlan, Sulis, Tamrin, Soywan,
Zaini. Sebelah timur Fadhlan rumah Asrori dan selanjutnya Muhdi, sementara itu
sebelah barat Fadhlan adalah rumah Rahmat dan selanjutnya rumah Ikrom.
[6] Berdasarkan interview dengan petugas kelurahan yaitu
Bpk. Bisri pada tanggal 22 Juni 2003 di kantor kelurahan.
[7] Interview dengan Ibu Hj. Alifah seorang pensiunan
pegawai negeri yang sudah berumur 60 th pada tanggal 15 Juni 2003
[8] Interview dengan Fadhlan pada tanggal 17 Juni 2003
[9] KH Nur Sa’di adalah sesepuh desa Sunggingan yang
sekarang sudah berumur 79 th, interview dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2003
[10] Mbah Aminah adalah orang yang dituakan di desa
Sunggingan yang sekarang ini masih bekerja sebagai pedagang kelontong, dan
beliau hanya bisa berbahasa jawa. Interview dilakukan tanggal 23 Juni 2003 di
rumahnya.
[11]
Interview dengan Bapak Jayus, seorang tukang
kayu yang mempunyai 5 orang anak dan 17 cucu, pada tanggal 23 Juni 2003.
[12] Sholikin Salam, Sejarah
Kudus Purbakala, Menara Kudus, Cet. II ,1982, hal. 11
[15] Koentjoroningrat, Op. Cit., hal. 31 & 230.
[16] Angka tersebut merupakan penjumlahan dari orang yang bermata
pencaharian buruh tani, buruh industri, dan buruh bangunan.
[17] Koentjoroningrat, Op.,Cit.,hal. 74.
[18] Wawancara dengan Setya Budi Utama pada tanggal 1 Juni
2003.
[22]
Keterangan yang terdapat dalam tabel tersebut
tidak dapat dijadikan tolak ukur mengenai pengukuran tingkat perekonomian masyarakat,
tapi keterangan tersebut digunakan untuk membedakan antara golongan satu dengan
yang lainnya.
[23]
Berdasarkan pernyataan Bpk. Sucipto kepada
penulis dalam menangggapi permasalahan yang berhubungan dengan desa Sunggingan.
Nasional Tradisionalis menurutnya adalah kultur masyarakat yang nasional (tidak
terlalu mementingkan perbedaan agama) serta masih banyak menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan agama yang bersifat
tradisionalis (seperti; khajatan, aqiqah, yasinan, dsb.).
0 Response to "GAMBARAN UMUM DESA SUNGGINGAN"
Post a Comment
sumonggo tinggalkan salam