SEJARAH PEMBENTUKAN DINASTI ABASIYAH

SEJARAH PEMBENTUKAN DINASTI ABASIYAH

A.    Asal – usul Dinasti Abasiyah

Pemerintahan dinasti Abasiyah berhasil didirikan setelah munculnya berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan Al – Abas dan para penentang lainnya terhadap kekuasaan Dinasti Bani Umayah di Damaskus. Ketidak berdayaan mengatasi pemberontakan masal yang berkepanjangan menyebabkan tumbangnya Dinasti Bani Umayah pada tahun 750 M / 132 H dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad sebagai khalifah terakhir dinasti Bani Umayah.[1]
Babak ketiga dalam drama besar politik Islam di buka oleh khalifah Abu al-Abbas (750 – 754 M), merupakan khalifah pertama yang bergelar al-Saffah (penumpah darah).[2] Ide untuk mengambil alih kepemimpinan tidak hanya berdasarkan atas klan kenabian, tetapi juga faktor persaingan memperebutkan supremasi kabilah antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Apalagi Bani Hasyim selama ini dipihak yang termarjinal.[3]
Menjelang ahir dinasti Umayyah (ahir abad I hijriyah), terjadi bermacam-macam kekacauan dan pelanggaran – pelanggaran terhadap ajaran Islam yang antara lain disebabkan :
1.      Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali r.a. dan Bani Hasyim (Hasyimiyah) pada umumnya.
2.      Merendahkan kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintah (Arab Oriented)
3.      Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.[4]
Oleh karena itu, logis kalau bani Hasym mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan daulah Umayyah. Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali – Al – Abbasy mereka bergerak dalam dua fase. Pertama, fase sangat rahasia. Kedua, fhase terang-terangan dan pertempuran.[5] Gerakan ini menghimpun :
a)      Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah
b)     Keturunan Abbas (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman
c)      Keturunan bangsa persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany.
Setelah muhammad meninggal, (126 H), perjuangan dilanjutkan oleh puteranya, Ibrahim. Dalam perjuangannya ia menemukan tokoh yang cerdas bernama Abu Muslim al-Khurasny.
Bergabungnya Abu Muslim Al-Khurasany ke dalam gerakan rahasia ini, maka dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan dan pertempuran.[6]
Sementara itu, terdapat 3 tempat penting yang dijadikan basis kegitan dengan fungsi yang berbeda. Tiga poros itu ialah Humaymah, kufah dan Khurasan.[7]
Pertama umayyah berfungsi sebagai basis penyusunan strategi, taktik, intelijen dan basis pengaderan pasukan untuk melumpuhkan kekuatan pertahanan lawan. Kedua, kufah berfungsi sebagai basis komunikasi dan informasi antara Humayyah dan Khurasan. Ketiga, khurasan berfungsi sebagai basis kegiatan perlawanan.[8] Puncak perlawanan berujung pada penyerbuan ibu kota dinasti Bani Umayyah (Damaskus) tahun 132 H / 750 M, yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah terakhir dinasti Umayyah Marwan ibn Muhammad oleh pasukan Abbasiyah.[9]
Keberhasilan Abasiyah menumbang dinasti Umyah tidak terlepas dari beberapa faktor, yaitu : pertama, gencarnya propaganda terlepas dari beberapa faktor, yaitu : pertama, gencarnya propaganda yang dilakukan oleh Al-Abbas kepada setiap penduduk yang kecewa atas kepemimpinan Dinasti Umayyah.[10] Kedua, meningkatnya pendukung dari berbagai lapisan masyarakat terhadap kaum pemberontak sehingga kebencian mereka terhadap bani Umayyah menjadi faktor yang memudahkan mobilisasi massa terutama kaum mawali. Ketiga, pemerintahan dinasti Umayyah yang dianggap zalim ikut mendorong meningkatnya kebencian di kalangan rakyat. Keempat, kelemahan yang berasal dari internal Dinasti umayh sendiri.
Adapun kelemahan yang kemudian menyebabkan kehancuran Dinasti Umayah antara lain disebabkan :
  1. Kesibukan melakukan penyebaran Islam ke wilayah – wilayah seperti Afrika Utara, Jazirah Arab, Suriah, Palestina, sampai wilayah India bagian barat.[11] Sehingga perhatian kedalam pemerintahan sendiri kurang diutamakan
  2. Persaingan di kalangan anggota-anggota keluarga dinasti Umayah juga membawa kelemahan kepada kondisi dinasti Umayyah.
  3. Kehidupan mewah di istana memperlemah jiwa dan ketalitas anak-anak khalifah yang membuat mereka kurang sanggup memikul beban pemerintahan negara yang demikian besar. Sementara itu, Azyumardi Azra berpendapat Dinasti Umayyah kurang respons terhadap perubahan yang terjadi yaitu bertambah banyaknya jumlah kaum Mawali non Arab yang setelah tahun 700 M jumlahnya melebihi kaum muslim arab. Disamping itu perlakuan Dinasti Umayah terhadap kaum mawali bersifat diskriminatif karena kaum mawali ditempatkan sebagai warga kelas dua, sementara itu perubahan situasi menuju struktur sosial dan politik kosmopolitan yang lebih sesuai dengan realitas umat terus berkembang.[12]
Menurut para sejarawan dalam revolusi abasiyah terdapat tiga model klasifikasi yaitu pertama, ras atau kesukuan seperti pengelompokan karena kesamaan bahasa, budaya, dan organisasi sosial politik. Kedua, terjadinya afiksasi suku bangsa di kalangan suku arab muslim. Ketiga, kesetiaan atau kepentingan daerah seperti antara penduduk syiria, Irak dan Khurasan.[13] Dinasti Abbasiyah memimpin umat Islam dengan format dan idiologi baru, serta beranggapan kekuasaannya berasal dari tuhan (divine origin) yang berasas Islamiyah yaitu persamaan, kebebasan, persaudaraan, keadilan sosial dan kerukunan terhadap agama-agama lain.[14]

B.     Khilafah dan Khalifah Dinasti Abbasiyah

1.      Khilafah Abbasiyah

Kepala negara adalah seorang khalifah yang mengendalikan semua kekuasaan dalam pemerintahan. Pola pengangkatan dan pergantian khalifah masa Abbasiyah berlangsung secara turun temurun (monarki).[15] Sehingga, pola seperti ini pada gilirannya menyuburkan budaya korup, otoriter, absolut, dan diktator dalam menjalankan pemerintahan.[16]
Secara poltiis pada masa awal dinasti Abbasiyah, khalifah berkuasa pada dua aspek, yaitu : pertama, aspek spiritual yang berorientasi pada keagamaan dimana khalifah berfungsi sebagai wakil Tuhan dimuka bumi yang bertanggung jawab untuk mengolah, mengelola, memakmurkan bumi, dan memelihara bumi dari kehancuran. Sebagaimana firman Allah SWT :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ..... (البقرة: 30)
“Dan ingatlah ketika tuhanmu berkata sesungguhnya aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi…….”. (QS. Al-Baqarah : 30).[17]
Disamping itu dinasti Abbasiyah membentuk pemerintahannya di atas dasar Islam dengan menerapkan prinsip persamaan, keadilan, kebebasan, amanah, persaudaraan dan persatuan, perdamaian dan amar ma’ruf nahi munkar yang secara eksplisit diungkapkan Allah SWT melalui al-Qur’an.[18]
Kedua, aspek temporal yang berorientasi keduniaan, dimana ia bertindak sebagai pemegang otoritas dalam pemerintahan. Dimana khalifah dapat melimpahkan otoritas sipilnya kepada seorang wazir (perdana menteri), otoritas pengadilan kepada seorang hakim (qadhi) dan otorites militer kepada seorang jenderal (amir). Namun khalifah sendiri tetap menjadi pengambil keputusan ahir dalam setiap kebijakan pemerintahan.[19]

Perbedaan dengan Dinasti Umayyah

Sistem pemerintahan monarki Abbasiyah yang diadopsi dari persia dan Byzantium bahkan dinasti Umayyah, cenderung despotis dan antikritik. Namun demikian, terdapat beberapa perbedaan antara dinasti Umayyah dan Abbasiyah :
a.      Dinasti Umayyah masih mempertahankan dan mengagungkan ke-araban murni (Arabic oriented) baik khalifah atau pegawai dan rakyatnya. Sehingga berkembanglah sebutan Abbasiyah lebih bersikap toleran bahkan meniadakan “Mawali” dengan memberikan hak yang sama.
b.      Dinasti Umayyah berpusat di Damaskus, sedangkan Dinasti Abbasiyah menempati Baghdad sebagai pusat pemerintahannya.
c.       Kebudayaan Umayyah lekat dengan corak arab jahiliyah dengan kemegahan bersyair dan berkisah. Sedangkan kebudayaan Abbasiyah terbuka terhadap semua kebudayaan sampai ahirnya terjadi asimilasi antara budaya arab dan bangsa lain.
d.     Dinasti Umayyah bukan keluarga nabi, sedangkan Abbasiyah mendasarkan kekhalifahan pada keluarga nabi (Abbas adalah paman nabi)
e.      Khalifah Umayyah gemar bersyair dan berkasidah. Sedangkan khalifah Abbasiyah gemar kepada ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan mencapai masa keemasannya.[20]
2.      Khalifah Abbasiyah
Masa kekuasaan Abbasiyah yang berlangsung dari tahun 132 H (750 M) – 656 H (1258 M) dengan wilayah kekuasaan yang amat luas dalam bentuk provinsi yang dipimpin oleh seorang gubernur (amir),[21] berdampak pada kesulitan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbas (Abbasiyah) menjadi 5 periode:[22]
a.      Periode pertama (750 – 847 M) atau (132 – 232 H) disebut periode pengaruh persia pertama.
b.      Periode kedua (847 – 945 M) atau (232 – 334 H) disebut masa pengaruh turki pertama.
c.       Periode Ketiga (945 – 1055 M) atau (334 – 447 H) kekuasaan Abbasiah berada di bawah dinasti Buwaih.
d.     Periode keempat (1055 – 1194 M) atau (447 – 590 H) kekuasaan Abbasiyah dibawah bani Saljuk atau disebut pengaruh Turki kedua.
e.      Periode kelima, (1194 – 1258 M) atau (590 – 656 H) masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di Baghdad saja.
Selama dinasti Abbasiyah berkuasa (132 – 656 H atau 750 – 1258 M) tercatat lima khalifah yang dianggap besar dari 37 khalifah Abbasiyah yang ada. Diantaranya Abu Al-Abbas Al-Saffah, Abu Ja’far Al-Mansur, Al-Mahdi, Harun Al-Rasyd dan Al-Makmun. Walaupun secara politis para khalifah dinasti Abbasiyah lemah dan mundur, dipihak lain kemajuan intelektual, sains, dan filsafat terus berkembang.
Berikut ini, nama-nama khalifah Dinasti Abbasiyah :








C.    Sebab – sebab Berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Islam Abbasiyah

Kemenangan tentara Islam pada masa Al-Mahdi dan Al-Rasyd atas orang Byzantium telah membuat Dinasti Abbasiyah populer, megah dan dikenal dalam sejarah dan fiksi. Akan tetapi kemunculan gerakan intelektual dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah pemikiran dan budaya, menghantarkan Abbasiyah mencapai puncak keemasan dalam Islam (The golden Age of Islam).[23]
Banyak faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan sains dan filsafat di masa dinasti Abbasiyah, diantaranya sebagai berikut :
1.      Pertama, kontak antara Islam dan Persia yang secara kultural banyak berperan dalam pengembangan tradisi keilmuwan Yunani. Persentuhan dengan budaya Yunani bermula ketika orang Arab bergerak menaklukkan daerah bulan sabit subur. Hellenisme ahirnya menjadi unsur yang paling dominan mempengaruhi kehidupan orang arab. Menurut analisis Mehdi Nakosteen, faktor-faktor penyebab helenisme dan helenistik antara lain : Pertama, Peran umat kristiani ortodoks seperi Nestorian[24], toleransi kaum muslim terhadap mereka dibalas dengan dibiarkannya berkembang tradisi – tradisi keilmuan Islam. Kedua, penaklukan oleh Alexander yang agung. Ketiga, peran akademi Jundishapur di Persia warisan kekuasaan sassaniah. Keempat, karya ilmiah yahudi yang tidak dapat dilupakan.[25]
2.      Etos keilmuan khalifah Abbasiyah yang menonjol terutama pada dua khalifah terkemuka yaitu Harun Al Rasyd dan Al Makum pada masa kedua khalifah tersebut Abbasiyah yang berpusat di Bagdad mencapai “masa keemasan Islam”.
3.      Peran keluarga barmak yang sengaja dipanggil khalifah ke istana untuk mendidik keluarga istana. Karena keluarga Barmak memiliki etos intelektual yang baik, profesional dan jujur, maka diangkat sebagai penasehat intelektual khalifah secara turun temurun.
4.      Aktivitas penerjemahan literatur – literatur Yunani ke dalam bahasa Arab. Namun sebelumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Aramaik (Suriah) karena kebanyakan penerjemah berbahasa aramik. Dari penerjemahan ini terjadilah helenisasi pemikiran Islam sekaligus Islamisasi pemikiran helenistik di dunia Islam.
5.      Konsentrasi pemerintah terhadap kemajuan aspek sosial dan intelektual, dengan mengesampikan ekspansi wilayah-kuatnya hegemoni Abbasiyah menjadi faktor terkendalinya stabilitas politik negara.
6.      Heterogenitas peradaban dan kebudayaan di Bagdad mengakibatkan terjadi proses asimilasi, saling memberi dan menerima dalam perkembangan intelektual masyarakat pada masa itu.
7.      Situasi sosial Bagdad yang kosmopolit dimana berbagai macam suku, ras dan etnis serta masing-masing kulturnya yang berinteraksi satu sama lain, mendorong adanya pemecahan masalah dari pendekatan intelektual.
Pengadopsian warisan-warisan intelektual Yunani ke dalam dunia Islam setidaknya menimbulkan dua penilaian. Islamisasi karya-karya Yunani dan pendangkalan nilai-nilai Islam. Pendapat bahwa telah terjadi proses pengIslaman ada benarnya karena para pemikir muslim kontemplatif telah melakukan penyesuaian dan penambahan nilai-nilai Islam ke dalam pemikirannya.
Namun, penilaian telah terjadi pendangkalan terhadap ilmu-ilmu Islam juga ada benarnya ketika sang penilai berada dalam posisi di luar bidangnya.

D.    Perkembangan Kebudayaan Dan Pemikiran Islam pada Masa Dinasti Abbasiyah

Sebelum masa pemerintah Islam, mayoritas penduduk bangsa Arab merupakan penduduk yang buta huruf (jahiliyah). Maka dari itu mereka harus bergantung kepada hafalan atau ingatan untuk meriwayatkan / menghubungkan tradisi mereka secara lisan. Setelah kebangkitan Islam, nabi Muhammad mempunyai minat yang kuat untuk mendidik bangsa Arab.
Untuk mencapai tujuan sebagai berikut, beliau mempekerjakan tawanan perang badar I yang pandai membaca dan menulis dan tidak bisa membayar tebusan untuk mengajar 10 anak-anak muslim dalam membaca dan menulis.[26]
Pada awal mula zaman Islam, ilmu pengetahuan umat Islam banyak berasal dari al-Qur’an dan hadits nabawy. Kemudian umat Islam keturunan non-arab khususnya orang-orang persia berpendapat bahwa mereka perlu mempelajari tata bahasa arab (nahwu) psikologi, dan syair – syair sebelum Islam yang memerlukan studi genelogi dan history untuk memahami al-Qur’an dan Hadits. Mulai saat itu mereka (bangsa persia) tertarik untuk mempelajari theology Islam.[27]
Sehingga sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas (Abbasiyah). Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Abbasiyah sendiri. Sebagian diantaranya sudah mulai sejak awal kebangkitan Islam.
Pada periode Abbasiyah pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam menjadi prioritas utama daripada perluasan wilayah. Dalam bidang pendidikan misalnya, diawal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat.[28]
1.      Maktab / Kuttab dan mesjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan. Dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqih dan bahasa. 
2.      Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing.
Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung distana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.[29] (Sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah Harun al-Rasyid).
Lembaga – lembaga itu kemudian berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena disamping terdapat kitab-kitab disana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman dinasti Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu :
1.      Terjadinya asimilasi antara bangsa arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan efisien. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa persia berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra.[30] Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran ilmu matematika dan astronomi.[31]  
2.      Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase.
Fase pertama, pada masa khalifah Al-Mansur hingga Harun Al-Rasyd. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan menthing. Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah al-Makmun hingga tahun 300 H. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang – bidang ilmu yang diterjemahkan makin meluas.[32]
Imam-imam madzhab yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah. Imam Abu Hamfah (700 – 767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan Persia lebih tinggi.[33] Karena itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada hadits. Muridnya dan sekaligus penerusnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman harun Al-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713 – 795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat madinah. Perdapat dua tokoh madzhab hukum itu di tengah oleh imam syafi’I (767 – 820 M) dan Imam Ahmad Ibn Hanbal (780 – 855 M) disamping empat pendiri madzhab besar itu, pada masa pemerintahan Abbasiyah banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapat secara bebas dan mendirikan madzhabnya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan madzhab itu hilang bersama berlalunya zaman. Aliran – aliran theologi sudah ada pada masa dinasti Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan mu’tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional mu’tazilah muncul diujung pemerintahan dinasti Umayyah. Namun pemikiran – pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna dirumuskan pada masa Abbasiyah setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam.[34]
Tokoh perumus pemikiran mu’tazilah yang terbesar adalah Abu Al Huzail Al Allaf dan Al-Nazzam. Asy’ariyah, aliran tradisional dibidang teologi yang dicetuskan oleh Abu Al-Hasan al-Asy’ari, yang lahir pada masa dinasti Abbasiyah ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Penulisan hadits, sastera juga berkembang pesat pada masa dinasti Abbasiyah. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi sehingga memudahkan para pemikir dan pengembang ilmu pengetahuan beraktivitas sesuai dengan kapabilitas dan kapasitasnya masing-masing.  

 







[1] Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam, (Jakarta : Grasindo, 2002), hlm. 27..
[2] Philp K. Hitti, History of TheArabs, (Jakarta : Serambi, 2002), hlm. 358
[3] Karen Amstrong, Islam, (Jogjakarta: Jendela, 2003), hlm. 63.
[4] Prof. Dr. Hs Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. (Jakarta : Prenada Media, 2004), hlm. 47.
[5] A. Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), hlm. 186.
[6] Ibid, hlm. 187.
[7] Dr. Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta : Logos, 1997), hlm. 87.
[8] Didin, Saefudin, Op Cit, hlm. 29-30.
[9] A. Hasymy, Op Cit, Hlm. 186.
[10] Joesoef Sou’yg, Sejarah Daulat Abasyah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), hlm. II.
[11] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta : Jaya Murni, 1983).
[12] Didin Saefudin, Op Cit, hlm. 31. 
[13] Ibid, hlm. 32.
[14] Dr. Amir Hasan Siddiqi, Studies Islamic History, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), hlm. 59.
[15] Philip K. Hitti, Loc Cit, hlm. 395.
[16] Didin Saefudin, Op Cit, hlm. 62.
[17] DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : CV Al-Wa’ah, 1995).
[18] Drs. H.Mat Solikhin, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : Rasail, 2005), hlm. 87.
[19] Philip K. Hitti, Op Cit, hlm. 395.
[20] Prof. Dr. Hj Musrifah Sunanto, Loc Cit, hlm. 48-49.
[21] Philip K. Hitti, Op Cit, hlm. 397.
[22] Dr. Badri Yatim MA, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 49-50.
[23] Philip K. Hitti, Op Cit, hlm. 381.
[24] Nestorian adalah Sekte Kristiani Ortodoks yang dikucilkan oleh gereja induk.
[25] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : UI Press, 2001), hlm. 65.
[26] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: P Kota Kembang, 1989), hlm. 128.
[27] Ibid, hlm. 131.
[28] Hasan Ibrahim Hasan, hlm. 129.
[29] Ibid, hlm. 129.
[30] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid I (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Nasyr), hlm. 207.
[31] Ibid, hlm. 177-178.
[32] Ibid, hlm. 288 – 290.
[33] Harun Nasution, 
[34] W. Montgomeru Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, (Jakarta : P3M, 1987), hlm. 54-113.  

0 Response to "SEJARAH PEMBENTUKAN DINASTI ABASIYAH"

Post a Comment

sumonggo tinggalkan salam