SEJARAH PEMBENTUKAN DINASTI ABASIYAH
A. Asal – usul
Dinasti Abasiyah
Pemerintahan
dinasti Abasiyah berhasil didirikan setelah munculnya berbagai pemberontakan
yang dilakukan oleh keturunan Al – Abas dan para penentang lainnya terhadap
kekuasaan Dinasti Bani Umayah di Damaskus. Ketidak berdayaan mengatasi
pemberontakan masal yang berkepanjangan menyebabkan tumbangnya Dinasti Bani
Umayah pada tahun 750 M / 132 H dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad sebagai
khalifah terakhir dinasti Bani Umayah.[1]
Babak
ketiga dalam drama besar politik Islam di buka oleh khalifah Abu al-Abbas (750
– 754 M), merupakan khalifah pertama yang bergelar al-Saffah (penumpah darah).[2]
Ide untuk mengambil alih kepemimpinan tidak hanya berdasarkan atas klan
kenabian, tetapi juga faktor persaingan memperebutkan supremasi kabilah antara
Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Apalagi Bani Hasyim selama ini dipihak yang
termarjinal.[3]
Menjelang
ahir dinasti Umayyah (ahir abad I hijriyah), terjadi bermacam-macam kekacauan
dan pelanggaran – pelanggaran terhadap ajaran Islam yang antara lain disebabkan
:
1. Penindasan yang
terus menerus terhadap pengikut Ali r.a. dan Bani Hasyim (Hasyimiyah) pada
umumnya.
2. Merendahkan
kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, sehingga mereka tidak diberi kesempatan
dalam pemerintah (Arab Oriented)
3. Pelanggaran
terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.[4]
Oleh
karena itu, logis kalau bani Hasym mencari jalan keluar dengan mendirikan
gerakan rahasia untuk menumbangkan daulah Umayyah. Di bawah pimpinan Muhammad
bin Ali – Al – Abbasy mereka bergerak dalam dua fase. Pertama, fase sangat
rahasia. Kedua, fhase terang-terangan dan pertempuran.[5]
Gerakan ini menghimpun :
a) Keturunan Ali
(Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah
b) Keturunan Abbas
(Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman
c) Keturunan
bangsa persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany.
Setelah
muhammad meninggal, (126 H), perjuangan dilanjutkan oleh puteranya, Ibrahim.
Dalam perjuangannya ia menemukan tokoh yang cerdas bernama Abu Muslim
al-Khurasny.
Bergabungnya
Abu Muslim Al-Khurasany ke dalam gerakan rahasia ini, maka dimulailah gerakan
dengan cara terang-terangan dan pertempuran.[6]
Sementara
itu, terdapat 3 tempat penting yang dijadikan basis kegitan dengan fungsi yang
berbeda. Tiga poros itu ialah Humaymah, kufah dan Khurasan.[7]
Pertama
umayyah berfungsi sebagai basis penyusunan strategi, taktik, intelijen dan
basis pengaderan pasukan untuk melumpuhkan kekuatan pertahanan lawan. Kedua,
kufah berfungsi sebagai basis komunikasi dan informasi antara Humayyah dan
Khurasan. Ketiga, khurasan berfungsi sebagai basis kegiatan perlawanan.[8]
Puncak perlawanan berujung pada penyerbuan ibu kota dinasti Bani Umayyah
(Damaskus) tahun 132 H / 750 M, yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah
terakhir dinasti Umayyah Marwan ibn Muhammad oleh pasukan Abbasiyah.[9]
Keberhasilan
Abasiyah menumbang dinasti Umyah tidak terlepas dari beberapa faktor, yaitu :
pertama, gencarnya propaganda terlepas dari beberapa faktor, yaitu : pertama,
gencarnya propaganda yang dilakukan oleh Al-Abbas kepada setiap penduduk yang
kecewa atas kepemimpinan Dinasti Umayyah.[10]
Kedua, meningkatnya pendukung dari berbagai lapisan masyarakat terhadap kaum
pemberontak sehingga kebencian mereka terhadap bani Umayyah menjadi faktor yang
memudahkan mobilisasi massa terutama kaum mawali. Ketiga, pemerintahan dinasti
Umayyah yang dianggap zalim ikut mendorong meningkatnya kebencian di kalangan
rakyat. Keempat, kelemahan yang berasal dari internal Dinasti umayh sendiri.
Adapun
kelemahan yang kemudian menyebabkan kehancuran Dinasti Umayah antara lain
disebabkan :
- Kesibukan
melakukan penyebaran Islam ke wilayah – wilayah seperti Afrika Utara,
Jazirah Arab, Suriah, Palestina, sampai wilayah India bagian barat.[11]
Sehingga perhatian kedalam pemerintahan sendiri kurang diutamakan
- Persaingan
di kalangan anggota-anggota keluarga dinasti Umayah juga membawa kelemahan
kepada kondisi dinasti Umayyah.
- Kehidupan
mewah di istana memperlemah jiwa dan ketalitas anak-anak khalifah yang
membuat mereka kurang sanggup memikul beban pemerintahan negara yang
demikian besar. Sementara itu, Azyumardi Azra berpendapat Dinasti Umayyah
kurang respons terhadap perubahan yang terjadi yaitu bertambah banyaknya
jumlah kaum Mawali non Arab yang setelah tahun 700 M jumlahnya melebihi
kaum muslim arab. Disamping itu perlakuan Dinasti Umayah terhadap kaum
mawali bersifat diskriminatif karena kaum mawali ditempatkan sebagai warga
kelas dua, sementara itu perubahan situasi menuju struktur sosial dan
politik kosmopolitan yang lebih sesuai dengan realitas umat terus
berkembang.[12]
Menurut
para sejarawan dalam revolusi abasiyah terdapat tiga model klasifikasi yaitu
pertama, ras atau kesukuan seperti pengelompokan karena kesamaan bahasa,
budaya, dan organisasi sosial politik. Kedua, terjadinya afiksasi suku bangsa
di kalangan suku arab muslim. Ketiga, kesetiaan atau kepentingan daerah seperti
antara penduduk syiria, Irak dan Khurasan.[13]
Dinasti Abbasiyah memimpin umat Islam dengan format dan idiologi baru, serta
beranggapan kekuasaannya berasal dari tuhan (divine origin) yang berasas
Islamiyah yaitu persamaan, kebebasan, persaudaraan, keadilan sosial dan
kerukunan terhadap agama-agama lain.[14]
B. Khilafah dan
Khalifah Dinasti Abbasiyah
1.
Khilafah Abbasiyah
Kepala
negara adalah seorang khalifah yang mengendalikan semua kekuasaan dalam
pemerintahan. Pola pengangkatan dan pergantian khalifah masa Abbasiyah
berlangsung secara turun temurun (monarki).[15]
Sehingga, pola seperti ini pada gilirannya menyuburkan budaya korup, otoriter,
absolut, dan diktator dalam menjalankan pemerintahan.[16]
Secara
poltiis pada masa awal dinasti Abbasiyah, khalifah berkuasa pada dua aspek,
yaitu : pertama, aspek spiritual yang berorientasi pada keagamaan dimana
khalifah berfungsi sebagai wakil Tuhan dimuka bumi yang bertanggung jawab untuk
mengolah, mengelola, memakmurkan bumi, dan memelihara bumi dari kehancuran.
Sebagaimana firman Allah SWT :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ..... (البقرة: 30)
“Dan
ingatlah ketika tuhanmu berkata sesungguhnya aku akan menjadikan seorang
khalifah di muka bumi…….”. (QS. Al-Baqarah : 30).[17]
Disamping
itu dinasti Abbasiyah membentuk pemerintahannya di atas dasar Islam dengan
menerapkan prinsip persamaan, keadilan, kebebasan, amanah, persaudaraan dan
persatuan, perdamaian dan amar ma’ruf nahi munkar yang secara eksplisit
diungkapkan Allah SWT melalui al-Qur’an.[18]
Kedua,
aspek temporal yang berorientasi keduniaan, dimana ia bertindak sebagai
pemegang otoritas dalam pemerintahan. Dimana khalifah dapat melimpahkan
otoritas sipilnya kepada seorang wazir (perdana menteri), otoritas pengadilan
kepada seorang hakim (qadhi) dan otorites militer kepada seorang jenderal
(amir). Namun khalifah sendiri tetap menjadi pengambil keputusan ahir dalam
setiap kebijakan pemerintahan.[19]
Perbedaan dengan Dinasti
Umayyah
Sistem
pemerintahan monarki Abbasiyah yang diadopsi dari persia dan Byzantium bahkan
dinasti Umayyah, cenderung despotis dan antikritik. Namun demikian, terdapat
beberapa perbedaan antara dinasti Umayyah dan Abbasiyah :
a. Dinasti Umayyah
masih mempertahankan dan mengagungkan ke-araban murni (Arabic oriented) baik
khalifah atau pegawai dan rakyatnya. Sehingga berkembanglah sebutan Abbasiyah
lebih bersikap toleran bahkan meniadakan “Mawali” dengan memberikan hak yang
sama.
b. Dinasti Umayyah
berpusat di Damaskus, sedangkan Dinasti Abbasiyah menempati Baghdad sebagai
pusat pemerintahannya.
c. Kebudayaan
Umayyah lekat dengan corak arab jahiliyah dengan kemegahan bersyair dan
berkisah. Sedangkan kebudayaan Abbasiyah terbuka terhadap semua kebudayaan
sampai ahirnya terjadi asimilasi antara budaya arab dan bangsa lain.
d. Dinasti Umayyah
bukan keluarga nabi, sedangkan Abbasiyah mendasarkan kekhalifahan pada keluarga
nabi (Abbas adalah paman nabi)
e. Khalifah
Umayyah gemar bersyair dan berkasidah. Sedangkan khalifah Abbasiyah gemar
kepada ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan mencapai masa keemasannya.[20]
2. Khalifah
Abbasiyah
Masa
kekuasaan Abbasiyah yang berlangsung dari tahun 132 H (750 M) – 656 H (1258 M)
dengan wilayah kekuasaan yang amat luas dalam bentuk provinsi yang dipimpin
oleh seorang gubernur (amir),[21]
berdampak pada kesulitan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan membagi
masa pemerintahan Bani Abbas (Abbasiyah) menjadi 5 periode:[22]
a. Periode pertama
(750 – 847 M) atau (132 – 232 H) disebut periode pengaruh persia pertama.
b. Periode kedua
(847 – 945 M) atau (232 – 334 H) disebut masa pengaruh turki pertama.
c. Periode Ketiga
(945 – 1055 M) atau (334 – 447 H) kekuasaan Abbasiah berada di bawah dinasti
Buwaih.
d. Periode keempat
(1055 – 1194 M) atau (447 – 590 H) kekuasaan Abbasiyah dibawah bani Saljuk atau
disebut pengaruh Turki kedua.
e. Periode kelima,
(1194 – 1258 M) atau (590 – 656 H) masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti
lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di Baghdad saja.
Selama
dinasti Abbasiyah berkuasa (132 – 656 H atau 750 – 1258 M) tercatat lima
khalifah yang dianggap besar dari 37 khalifah Abbasiyah yang ada. Diantaranya
Abu Al-Abbas Al-Saffah, Abu Ja’far Al-Mansur, Al-Mahdi, Harun Al-Rasyd dan
Al-Makmun. Walaupun secara politis para khalifah dinasti Abbasiyah lemah dan
mundur, dipihak lain kemajuan intelektual, sains, dan filsafat terus
berkembang.
Berikut
ini, nama-nama khalifah Dinasti Abbasiyah :
C. Sebab – sebab
Berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Islam Abbasiyah
Kemenangan
tentara Islam pada masa Al-Mahdi dan Al-Rasyd atas orang Byzantium telah
membuat Dinasti Abbasiyah populer, megah dan dikenal dalam sejarah dan fiksi.
Akan tetapi kemunculan gerakan intelektual dan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dalam sejarah pemikiran dan budaya, menghantarkan Abbasiyah
mencapai puncak keemasan dalam Islam (The golden Age of Islam).[23]
Banyak
faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan sains dan filsafat di masa
dinasti Abbasiyah, diantaranya sebagai berikut :
1. Pertama, kontak
antara Islam dan Persia yang secara kultural banyak berperan dalam pengembangan
tradisi keilmuwan Yunani. Persentuhan dengan budaya Yunani bermula ketika orang
Arab bergerak menaklukkan daerah bulan sabit subur. Hellenisme ahirnya menjadi
unsur yang paling dominan mempengaruhi kehidupan orang arab. Menurut analisis
Mehdi Nakosteen, faktor-faktor penyebab helenisme dan helenistik antara lain :
Pertama, Peran umat kristiani ortodoks seperi Nestorian[24],
toleransi kaum muslim terhadap mereka dibalas dengan dibiarkannya berkembang
tradisi – tradisi keilmuan Islam. Kedua, penaklukan oleh Alexander yang agung.
Ketiga, peran akademi Jundishapur di Persia warisan kekuasaan sassaniah.
Keempat, karya ilmiah yahudi yang tidak dapat dilupakan.[25]
2. Etos keilmuan
khalifah Abbasiyah yang menonjol terutama pada dua khalifah terkemuka yaitu
Harun Al Rasyd dan Al Makum pada masa kedua khalifah tersebut Abbasiyah yang
berpusat di Bagdad mencapai “masa keemasan Islam”.
3. Peran keluarga
barmak yang sengaja dipanggil khalifah ke istana untuk mendidik keluarga istana.
Karena keluarga Barmak memiliki etos intelektual yang baik, profesional dan
jujur, maka diangkat sebagai penasehat intelektual khalifah secara turun
temurun.
4. Aktivitas
penerjemahan literatur – literatur Yunani ke dalam bahasa Arab. Namun
sebelumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Aramaik (Suriah) karena kebanyakan
penerjemah berbahasa aramik. Dari penerjemahan ini terjadilah helenisasi
pemikiran Islam sekaligus Islamisasi pemikiran helenistik di dunia Islam.
5. Konsentrasi
pemerintah terhadap kemajuan aspek sosial dan intelektual, dengan mengesampikan
ekspansi wilayah-kuatnya hegemoni Abbasiyah menjadi faktor terkendalinya
stabilitas politik negara.
6. Heterogenitas
peradaban dan kebudayaan di Bagdad mengakibatkan terjadi proses asimilasi,
saling memberi dan menerima dalam perkembangan intelektual masyarakat pada masa
itu.
7. Situasi sosial
Bagdad yang kosmopolit dimana berbagai macam suku, ras dan etnis serta
masing-masing kulturnya yang berinteraksi satu sama lain, mendorong adanya
pemecahan masalah dari pendekatan intelektual.
Pengadopsian
warisan-warisan intelektual Yunani ke dalam dunia Islam setidaknya menimbulkan
dua penilaian. Islamisasi karya-karya Yunani dan pendangkalan nilai-nilai
Islam. Pendapat bahwa telah terjadi proses pengIslaman ada benarnya karena para
pemikir muslim kontemplatif telah melakukan penyesuaian dan penambahan
nilai-nilai Islam ke dalam pemikirannya.
Namun,
penilaian telah terjadi pendangkalan terhadap ilmu-ilmu Islam juga ada benarnya
ketika sang penilai berada dalam posisi di luar bidangnya.
D. Perkembangan
Kebudayaan Dan Pemikiran Islam pada Masa Dinasti Abbasiyah
Sebelum
masa pemerintah Islam, mayoritas penduduk bangsa Arab merupakan penduduk yang
buta huruf (jahiliyah). Maka dari itu mereka harus bergantung kepada hafalan
atau ingatan untuk meriwayatkan / menghubungkan tradisi mereka secara lisan.
Setelah kebangkitan Islam, nabi Muhammad mempunyai minat yang kuat untuk
mendidik bangsa Arab.
Untuk
mencapai tujuan sebagai berikut, beliau mempekerjakan tawanan perang badar I
yang pandai membaca dan menulis dan tidak bisa membayar tebusan untuk mengajar
10 anak-anak muslim dalam membaca dan menulis.[26]
Pada
awal mula zaman Islam, ilmu pengetahuan umat Islam banyak berasal dari
al-Qur’an dan hadits nabawy. Kemudian umat Islam keturunan non-arab khususnya
orang-orang persia berpendapat bahwa mereka perlu mempelajari tata bahasa arab
(nahwu) psikologi, dan syair – syair sebelum Islam yang memerlukan studi
genelogi dan history untuk memahami al-Qur’an dan Hadits. Mulai saat itu mereka
(bangsa persia) tertarik untuk mempelajari theology Islam.[27]
Sehingga
sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran
Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas (Abbasiyah). Akan tetapi, tidak
berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Abbasiyah sendiri.
Sebagian diantaranya sudah mulai sejak awal kebangkitan Islam.
Pada
periode Abbasiyah pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam menjadi prioritas
utama daripada perluasan wilayah. Dalam bidang pendidikan misalnya, diawal Islam,
lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan
terdiri dari dua tingkat.[28]
1. Maktab / Kuttab
dan mesjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal
dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan. Dan tempat para remaja belajar
dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqih dan bahasa.
2. Tingkat
pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah
menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya
masing-masing.
Pada umumnya, ilmu yang
dituntut adalah ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di
rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung
distana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.[29]
(Sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah Harun al-Rasyid).
Lembaga
– lembaga itu kemudian berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah dengan
berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan
sebuah universitas, karena disamping terdapat kitab-kitab disana orang juga
dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Perkembangan
lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa arab, baik
sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman dinasti Umayyah,
maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling
tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu :
1. Terjadinya
asimilasi antara bangsa arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan
dinasti Abbasiyah, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi
berlangsung secara efektif dan efisien. Bangsa-bangsa itu memberi saham
tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh persia,
sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping
itu, bangsa persia berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra.[30]
Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran ilmu matematika dan astronomi.[31]
2. Gerakan
terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase.
Fase
pertama, pada masa khalifah Al-Mansur hingga Harun Al-Rasyd. Pada fase ini yang
banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan menthing.
Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah al-Makmun hingga tahun 300 H.
buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan
kedokteran. Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah
adanya pembuatan kertas. Bidang – bidang ilmu yang diterjemahkan makin meluas.[32]
Imam-imam
madzhab yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah. Imam Abu Hamfah (700
– 767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang
terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang
hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan Persia lebih tinggi.[33]
Karena itu, madzhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada
hadits. Muridnya dan sekaligus penerusnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat
di zaman harun Al-Rasyid.
Berbeda
dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713 – 795 M) banyak menggunakan hadits dan
tradisi masyarakat madinah. Perdapat dua tokoh madzhab hukum itu di tengah oleh
imam syafi’I (767 – 820 M) dan Imam Ahmad Ibn Hanbal (780 – 855 M) disamping
empat pendiri madzhab besar itu, pada masa pemerintahan Abbasiyah banyak
mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapat secara bebas dan mendirikan
madzhabnya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran
dan madzhab itu hilang bersama berlalunya zaman. Aliran – aliran theologi sudah
ada pada masa dinasti Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan mu’tazilah. Akan
tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional mu’tazilah
muncul diujung pemerintahan dinasti Umayyah. Namun pemikiran – pemikirannya
yang lebih kompleks dan sempurna dirumuskan pada masa Abbasiyah setelah terjadi
kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam.[34]
Tokoh
perumus pemikiran mu’tazilah yang terbesar adalah Abu Al Huzail Al Allaf dan
Al-Nazzam. Asy’ariyah, aliran tradisional dibidang teologi yang dicetuskan oleh
Abu Al-Hasan al-Asy’ari, yang lahir pada masa dinasti Abbasiyah ini juga banyak
sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Penulisan hadits, sastera juga berkembang
pesat pada masa dinasti Abbasiyah. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh
tersedianya fasilitas dan transportasi sehingga memudahkan para pemikir dan
pengembang ilmu pengetahuan beraktivitas sesuai dengan kapabilitas dan
kapasitasnya masing-masing.
[1]
Didin Saefudin, Zaman Keemasan Islam, (Jakarta : Grasindo, 2002), hlm.
27..
[2]
Philp K. Hitti, History of TheArabs, (Jakarta : Serambi, 2002), hlm. 358
[3]
Karen Amstrong, Islam, (Jogjakarta: Jendela, 2003), hlm. 63.
[4]
Prof. Dr. Hs Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam. (Jakarta : Prenada Media, 2004), hlm. 47.
[5] A.
Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), hlm.
186.
[6] Ibid,
hlm. 187.
[7]
Dr. Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta : Logos,
1997), hlm. 87.
[8]
Didin, Saefudin, Op Cit, hlm. 29-30.
[9] A.
Hasymy, Op Cit, Hlm. 186.
[10]
Joesoef Sou’yg, Sejarah Daulat Abasyah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977),
hlm. II.
[11]
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta : Jaya Murni,
1983).
[12]
Didin Saefudin, Op Cit, hlm. 31.
[13] Ibid,
hlm. 32.
[14]
Dr. Amir Hasan Siddiqi, Studies Islamic History, (Bandung: PT.
Al-Ma’arif, 1987), hlm. 59.
[15]
Philip K. Hitti, Loc Cit, hlm. 395.
[16]
Didin Saefudin, Op Cit, hlm. 62.
[17]
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : CV Al-Wa’ah, 1995).
[18]
Drs. H.Mat Solikhin, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : Rasail,
2005), hlm. 87.
[19]
Philip K. Hitti, Op Cit, hlm. 395.
[20]
Prof. Dr. Hj Musrifah Sunanto, Loc Cit, hlm. 48-49.
[21]
Philip K. Hitti, Op Cit, hlm. 397.
[22]
Dr. Badri Yatim MA, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 49-50.
[23]
Philip K. Hitti, Op Cit, hlm. 381.
[24]
Nestorian adalah Sekte Kristiani Ortodoks yang dikucilkan oleh gereja induk.
[25]
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : UI
Press, 2001), hlm. 65.
[26]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: P Kota Kembang,
1989), hlm. 128.
[27] Ibid,
hlm. 131.
[28]
Hasan Ibrahim Hasan, hlm. 129.
[29] Ibid,
hlm. 129.
[30]
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jilid I (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa
al-Nasyr), hlm. 207.
[31] Ibid,
hlm. 177-178.
[32] Ibid,
hlm. 288 – 290.
[33]
Harun Nasution,
[34]
W. Montgomeru Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, (Jakarta :
P3M, 1987), hlm. 54-113.
0 Response to "SEJARAH PEMBENTUKAN DINASTI ABASIYAH"
Post a Comment
sumonggo tinggalkan salam