Sistem Kepercayaan Zaman Purba
Sahabat Oke Madrasah, Sebagai manusia yang beragama tentu kamu sering mendengarkan ceramah dari guru maupun tokoh agama. Dalam ceramah-ceramah tersebut sering dikatakan bahwa hidup adalah hanya sebentar sehingga tidak boleh berbuat menentang ajaran agama, misalnya tidak boleh menyakiti orang lain, tidak boleh rakus, bahkan melakukan tindak korupsi yang merugikan negara dan orang lain. Karena itu dalam hidup ini manusia harus bekerja keras dan berbuat sebaik mungkin, saling tolong menolong. Kita semua mestinya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa bila berbuat dosa karena melanggar perintah agama, atau menyakiti orang lain. Nenek moyang kita mengenal kepercayaan kehidupan setelah mati. Mereka percaya pada kekuatan lain yang maha kuat di luar dirinya. Mereka selalu menjaga diri agar setelah mati tetap dihormati. Berikut ini kita akan menelaah bagaimana sistem kepercayaan manusia zaman praaksara, yang menjadi nenek moyang kita. Perwujudan kepercayaannya dituangkan dalam berbagai bentuk di antaranya karya seni. Satu di antaranya berfungsi sebagai bekal untuk orang yang meninggal. Tentu kamu masih ingat tentang perhiasan yang digunakan sebagai bekal kubur.
Seiring dengan bekal kubur ini, maka pada zaman purba manusia mengenal penguburan mayat. Pada saat inilah manusia mengenal sistem kepercayaan zaman purba. Sebelum meninggal manusia menyiapkan dirinya dengan membuat berbagai bekal kubur, dan juga tempat penguburan yang menghasilkan karya seni cukup bagus pada masa sekarang. Untuk itulah kita mengenal dolmen, sarkofagus, menhir dan lain sebagainya.
Masyarakat zaman praaksara terutama periode zaman neolitikum sudah mengenal sistem kepercayaan. Mereka sudah memahami adanya kehidupan setelah mati. Mereka meyakini bahwa roh seseorang yang telah meninggal akan ada kehidupan di alam lain. Oleh karena itu, roh orang yang sudah meninggal akan senantiasa dihormati oleh sanak kerabatnya. Terkait dengan itu maka kegiatan ritual yang paling menonjol adalah upacara penguburan orang meninggal. Dalam tradisi penguburan ini, jenazah orang yang telah meninggal dibekali berbagai benda dan peralatan kebutuhan sehari-hari, misalnya barang-barang perhiasan, periuk dan lain-lain yang dikubur bersama mayatnya. Hal ini dimaksudkan agar perjalanan arwah orang yang meninggal selamat dan terjamin dengan baik. Dalam upacara penguburan ini semakin kaya orang yang meninggal maka upacaranya juga semakin mewah. Barangbarang berharga yang ikut dikubur juga semakin banyak. Selain upacara-upacara penguburan, juga ada upacaraupacara pesta untuk mendirikan bangunan suci. Mereka percaya manusia yang meninggal akan mendapatkan kebahagiaan jika mayatnya ditempatkan pada susunan batu-batu besar, misalnya pada peti batu atau sarkofagus.
Batu-batu besar ini menjadi lambang perlindungan bagi manusia yang berbudi luhur juga memberi peringatan bahwa kebaikan kehidupan di akhirat hanya akan dapat dicapai sesuai dengan perbuatan baik selama hidup di dunia. Hal ini sangat tergantung pada kegiatan upacara kematian yang pernah dilakukan untuk menghormati leluhurnya. Oleh karena itu, upacara kematian merupakan manifestasi dari rasa bakti dan hormat seseorang terhadap leluhurnya yang telah meninggal.
Sistem kepercayaan masyarakat praaksara yang demikian itu telah melahirkan tradisi megalitik (zaman megalitikum = zaman batu besar). Mereka mendirikan bangunan batu-batu besar seperti menhir, dolmen, punden berundak, dan sarkofagus.
Sistem kepercayaan zaman purba dan tradisi batu besar seperti dijelaskan di atas, telah mendorong berkembangnya kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme merupakan sebuah sistem kepercayaan yang memuja roh nenek moyang. Di samping animisme, muncul juga kepercayaan dinamisme. Menurut kepercayaan dinamisme ada bendabenda tertentu yang diyakini memiliki kekuatan gaib, sehingga benda itu sangat dihormati dan dikeramatkan. Seiring dengan perkembangan pelayaran, masyarakat zaman praaksara akhir juga mulai mengenal sedekah laut. Sudah barang tentu kegiatan upacara ini lebih banyak dikembangkan di kalangan para nelayan. Bentuknya mungkin semacam selamatan apabila ingin berlayar jauh, atau mungkin saat memulai pembuatan perahu.
Kedatangan Deutro dan Protomelayu
Menurut Sarasin bersaudara, penduduk asli Kepulauan Indonesia adalah ras berkulit gelap dan bertubuh kecil. Mereka mulanya tinggal di Asia bagian tenggara. Ketika zaman es mencair dan air laut naik hingga terbentuk Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, sehingga memisahkan pegunungan vulkanik Kepulauan Indonesia dari daratan utama. Beberapa penduduk asli Kepulauan Indonesia tersisa dan menetap di daerah-daerah pedalaman, sedangkan daerah pantai dihuni oleh penduduk pendatang. Penduduk asli itu disebut sebagai suku bangsa Vedda oleh Sarasin. Ras yang masuk dalam kelompok ini adalah suku bangsa Hieng di Kamboja, Miaotse, Yao-Jen di Cina, dan Senoi di Semenanjung Malaya.
Beberapa suku bangsa seperti Kubu, Lubu, Talang Mamak yang tinggal di Sumatra dan Toala di Sulawesi merupakan penduduk tertua di Kepulauan Indonesia. Mereka mempunyai hubungan erat dengan nenek moyang Melanesia masa kini dan orang Vedda yang saat ini masih terdapat di Afrika, Asia Selatan, dan Oceania. Vedda itulah manusia pertama yang datang ke pulau-pulau yang sudah berpenghuni. Mereka membawa budaya perkakas batu. Kedua ras Melanesia dan Vedda hidup dalam budaya mesolitik. Pendatang berikutnya membawa budaya baru yaitu budaya neolitik. Para pendatang baru itu jumlahnya jauh lebih banyak daripada penduduk asli. Mereka datang dalam dua tahap. Mereka itu oleh Sarasin disebut sebagai Deutero dan Protomelayu. Kedatangan mereka terpisah diperkirakan lebih dari 2.000 tahun yang lalu.
Protomelayu diyakini sebagai nenek moyang orang Melayu Polinesia yang tersebar dari Madagaskar sampai pulau-pulau paling timur di Pasifik. Mereka diperkirakan datang dari Cina bagian selatan. Dari Cina bagian selatan itu mereka bermigrasi ke Indocina dan Siam kemudian ke Kepulauan Indonesia. Kedatangan para imigran baru itu kemudian mendesak keberadaan penduduk asli dan pendatang sebelumnya. Mereka pun kemudian berpindah mencari tempat baru ke hutan-hutan sebagai tempat hunian baru. Penduduk asli dan pendatang sebelumnya itu pun kemudian melebur.
Deutero Melayu merupakan ras yang datang dari Indocina bagian utara. Mereka membawa budaya baru berupa perkakas dan senjata besi di Kepulauan Indonesia. Pada akhirnya Proto dan Deutero Melayu membaur yang selanjutnya menjadi penduduk di Kepulauan Indonesia. Pada masa selanjutnya mereka sulit untuk dibedakan. Proto Melayu meliputi penduduk di Gayo dan Alas di Sumatra bagian utara, serta Toraja di Sulawesi. Sementara itu, semua penduduk di Kepulauan Indonesia, kecuali penduduk Papua dan yang tinggal di sekitar pulau-pulau Papua adalah ras Deutero Melayu.
Periode migrasi itu berlangsung berabad-abad, kemungkinan mereka berasal dalam satu kelompok ras yang sama dan dengan budaya yang sama pula. Mereka itulah nenek moyang orang Indonesia saat ini. Budaya mereka berupa neolitik yang lebih maju dan belum mengenal perkakas dari logam. Budaya logam baru mereka kenal pada masa awal tarikh Masehi.
Sekitar 170 bahasa yang digunakan di Kepulauan Indonesia adalah bahasa Austronesia (Melayu-Polinesia). Bahasa itu kemudian dikelompokan menjadi dua oleh Sarasin, yaitu Bahasa Aceh dan bahasa-bahasa di pedalaman Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Kelompok kedua adalah bahasa Batak, Melayu standar, Jawa, dan Bali. Kelompok bahasa kedua itu mempunyai hubungan dengan bahasa Malagi di Madagaskar dan Tagalog di Luzon. Persebaran geografis kedua bahasa itu menunjukkan bahwa penggunanya adalah pelaut-pelaut pada masa dahulu yang sudah mempunyai peradaban lebih maju. Di samping bahasa-bahasa itu, juga terdapat bahasa Halmahera Utara dan Papua yang digunakan di pedalaman Papua dan bagian utara Pulau Halmahera.
Setelah membaca secara keseluruhan bab ini marilah kita sama-sama menyimpulkan nilai-nilai apa yang dapat dipetik dari kehidupan masa lalu itu untuk kehidupan pada masa kini dan masa mendatang. Untuk mempelajari sejarah awal ini ahli sejarah bergantung pada disiplin arkeologi, geologi dan biologi dan cabangcabang ilmu lainnya. Masa praaksara terbentang dari penemuan manusia pertama di planet bumi ini hingga ditemukannya tulisan.
Cerita sejarahnya mulai sejak sekitar 500.000 atau barangkali sekitar 250.000 tahun lalu. Periode ini, karenanya, merupakan suatu tahapan sejarah paling tua dan terpanjang dalam sejarah umat manusia, tidak terkecuali untuk sejarah Indonesia.
Pengetahuan tentang kehidupan manusia praaksara menyediakan jawaban tentang asal usul manusia dan kemanusiaan, serta keberadaan manusia di dunia dalam mencapai impiannya dan rintangan-rintangan yang dihadapinya. Pertanyaan tentang asal usul dan eksistensi manusia selalu menggelitik benak manusia sepanjang zaman, bahkan juga hari ini. Sebagai sebuah bangsa, pembelajaran mengenai kehidupan manusia praaksara hendaknya menggugah kita untuk memperbarui pertanyaan klasik seperti, dari manakah kita berasal dan bagaimana evolusi perjalanan hidup manusia di masa lalu hingga mencapai suatu tahap sejarah ke tahap berikutnya? Bagaimana mereka menemukan dirinya dan menjalani pengalaman kolektif dari masa ke masa? Semakin sadar kita tentang asal usul dan evolusi yang dijalani nenek moyang di masa lampau, semakin ingat pula kita hendaknya tentang tugas dan tanggung jawab kita sebagai seorang peserta didik yang akan membangunbangsa hari ini dan ke depan.
Nenek moyang orang Indonesia di masa lampau telah menjalani sejarah yang amat panjang dan berat dengan segala tantangan zaman yang dihadapi pada masanya. Mereka telah mengalami evolusi atau transformasi sedemikian rupa yaitu, dari nomaden ke kehidupan menetap, dari hidup mengumpulkan makanan dan berburu menjadi penghasil bahan makanan, dari ketergantungan total pada alam dan teknologi bersahaja dalam bentuk manual kepada upaya menciptakan alat yang kian lama kian canggih, dan dari hidup berkelompok berdasarkan sistem kepemimpinan primus interpares ke susunan masyarakat yang lebih teratur. Semua itu berlangsung dengan cara yang tak mudah dan memakan waktu yang lama, bahkan ribuan tahun.
Perubahan-perubahan itu tidak mengalir begitu saja, tetapi mulai dari refleksi berpikir, gagasan hasil interaksi mereka dengan alam sekitar. Kondisi lingkungan yang berat mengajarkan bagaimana, misalnya, membuat alat yang tepat untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Entah itu karena faktor alam atau cuaca atau ancaman dari binatang buas. Dalam masyarakat manusia, seperti halnya dengan hewan, generasi yang lebih tua meneruskan tradisi dan pengalaman kolektif lewat contoh kepada yang lebih muda. Dengan akumulasi pengalaman kolektif itu mereka belajar meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.
Pencapaian prestasi yang diraih manusia modern dewasa ini telah mengubah dunia dengan cara yang mungkin tak terbayangkan oleh nenek moyang mereka di masa silam, tetapi energi yang telah dihabiskan untuk menunjang kehidupan manusia pun semakin besar. Kehidupan modern yang kini dinikmati manusia pun sebenarnya telah dibayar dengan harga yang amat mahal dengan besarnya energi yang telah dikuras oleh manusia, baik itu yang tidak terperbaharui (antara lain minyak bumi, gas, dan batu bara ) maupun yang terperbaharui (kayu dan hutan). Karena itu, seorang ahli ilmu hayat Tim Flannery menyebut manusia homo sapiens zaman modern berbeda dengan nenek moyang mereka, karena mereka tidak lain adalah “pemangsa masa depan”. Julukan ini tidak salah apabila kita menghitung kembali kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi manusia hingga saat ini. Bahkan, sumber daya alami (antara lain tambang mineral, bahan bakar fosil, keindahan alam, hutan tropis, sumber daya lautan) yang seharusnya bukan menjadi hak manusia saat ini, tetapi warisan bagi anak-cucu di masa mendatang, sudah mulai dimanfaatkan atau malah sudah dimakan habis.
Kekayaan sumber kearifan lokal zaman praaksara menyediakan inspirasi dan sekaligus peringatan bagi generasi kita bagaimana hubungan harmoni antara manusia dan alam tidak perlu menimbulkan malapetaka bagi manusia lain. Kekayaan alam pikir manusia praaksara jelas merupakan kearifan lokal yang harus terus menerus digali lagi dan bukan diremehkan. Mitosmitos tentang awal penciptaan dunia dan asal usul manusia dengan cerita yang berbeda-beda di berbagai suku bangsa, tidak hanya mengandung nilai pelajaran di dalamnya, tetapi juga, kalau ditelusuri lebih jauh, membawa pesan-pesan rasional yang sering disampaikan secara simbolik.
Maka, di saat manusia modern hidup semakin individualistik, semakin terasa pula kebutuhan untuk menegakkan nilai-nilai kearifan lokal. Entah itu yang namanya berupa gotong royong, kekeluargaan dan kebersamaan. Itulah kebiasaan nenek moyang, misalnya, dalam rangka membangun kampung, mendirikan bangunan-bangunan dari batu besar atau megalitik. Kebiasaan semacam ini sampai sekarang masih dapat dirasakan di dalam kehidupan masyarakat tradisional, seperti di Nias, Toraja, dan Ngada. Tidak jarang pula para pemimpin kelompok sosial mengadakan pestajasa sebagai bukti bahwa mereka dapat memberikan kesejahteraan bag i anggota masyarakatnya. Semua anggota masyarakat ikut terlibat dan secara bersama-sama melaksanakan upacara-upacara. Masyarakat yang telah merasakan kesejahteraan yang diberikan pemimpin akan membalas jasa itu dengan bergotong royong mengangkut dan mendirikan batu tegak (prasasti) bagi pemimpinnya. Di masa lampau, sifat gotong royong itu, tidak saja terlihat dalam mendirikan bangunan megalitik tetapi juga untuk pendirian rumah, upacara syukuran panen, serta upacara kematian. Apa pun bentuknya, pengalaman kolektif manusia praaksara adalah akar tunggang dari budaya Nusantara, yang tentunya dapat memperkuat budaya Indonesia modern dalam mengarungi globalisasi abad ke-21 ini.
Demikian Pembahasan sistem kepercayaan zaman purba, ini semoga bermanfaat
Sumber : Buku Sejarah Indonesia : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
0 Response to "Sistem Kepercayaan Zaman Purba"
Post a Comment
sumonggo tinggalkan salam