PENDIDIKAN AKAL MENURUT KONSEP ISLAM

PENDIDIKAN AKAL MENURUT KONSEP ISLAM 
Sahabat oke madrasah pada kesempatan ini kita akan membahas Pendidikan Akal Menurut Konsep Islam. Secara deduksi Islam hadir dengan konsep yang demikian lengkap tentang keteraturan dan cara pengaturan jalinan sistem di alam ini. Sebagai bagian dari keseluruhan sistem alam, kehidupan manusiapun tak luput diperhatikannya. Perhatian yang dimaksud, salah satu yang terpenting ialah manusia ditetapkan berpredikat khusus sebagai hewan rasional atau makhluk berakal. Dengan akalnya, manusia ditempatkan dalam status istimewa, selaku pengatur jagat raya.[1]

Dengan kata lain akallah makhluk Tuhan yang tertinggi dan akallah yang memperbedakan manusia dari binatang dan makhluk Tuhan lainnya. Karena akalnyalah manusia bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatannya dan akal yang ada pada diri manusia itulah yang Tuhan sebagai pegangan dalam menentukan pemberian pahala atau hukuman kepada seseorang. Makhluk selain manusia, karena tidak mempunyai akal, tidak bertanggung jawab dan tidak menerima hukuman atau pahala atas perbuatan-perbuatannya.[2]

Akal yang merupakan potensi rohaniah itu telah menjadi obyek pembahasan, namun belum diketemukan pembahasan yang pasti tentang akal tersebut. Bahkan persoalan ini bertambah rumit ketika muncul istilah-istilah baru, seperti: rasio, intelek, pikiran, penalaran, kecerdasan dan semacamnya yang semua itu bisa disandingkan pengertiannya dengan akal.[3]

Pendidikan Akal Menurut Konsep Islam
Belum diketemukannya pengertian yang pasti atau perbedaan pendapat tentang pengertian akal dan hakekatnya. Al-Qur’an menghadirkan kata Al ‘Aql hanya dalam bentuk kata kerja, bukan kata benda, yaitu عقلوه satu ayat dalam surat Al-Baqarah ayat 75; تعقلون 24 ayat; misalnya; dalam surat Al-Baqarah ayat 242; يعقلون  22 ayat; misalnya dalam surat Al Hajj ayat 46; يعقل 1 ayat pada surat Al-Mulk ayat 10 dan يعقلها 1 ayat, dalam surat Al-Ankabut ayat 43.[4]

Akal secara etimologi, artinya mengikat atau menahan. Orang Arab menjelaskan bahwa akal berarti Al-Hijr الحجر) ) menahan.[5] Louwis Ma’luf dalam kamusnya menyatakan akal adalah nur rohaniyah yang dengannya jiwa atau nafsu akan menemukan sesuatu tanpa adanya keraguan. Akal dikatakan akal karena memikirkan pemiliknya dari kekacauan dan keresahan”.[6]

Kata kata yang berasal dari ‘aqala sendiri terdapat dalam lebih dari 45 ayat dan selain yang dijelaskan dapat dikemukakan dalam salah satu ayat Al-Qur'an surat Yusuf ayat 111 :
لقد كان فى قصصهم عبرة لاولى الالباب ط ما كان حديثا يفترى ولكن تصديق الّذى بين يديه وتفصيل كلّ شىء وهدى ورحمة لقوم يؤمنون.

Artinya : “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”.[7]

Adapun secara terminologi, banyak terjadi perbedaan para ahli pendidikan dalam memberikan batasan tentang akal.
a.      Imam Bawani menyimpulkan bahwa akal merupakan substansi rohaniyah yang dengannya manusia dapat memahami dan membedakan kebenaran dan kepalsuan.[8]
b.     Musa Asy’ari mengartikan akal dengan daya rohani untuk memahami kebenaran yang bersifat mutlak dan kebenaran relatif.[9]
c.  Alexander sebagaimana dikutip M.M. Syarief menyebutkan tiga bagian; akal materi, akal terbiasa dan akal agen.
1)     Akal materi adalah daya murni yang dapat rusak, ia merupakan daya untuk dapat menerima bentuk-bentuk.
2)     Akal terbiasa adalah akal yang memperoleh dan memiliki pengetahuan yaitu akal yang berlaku dari daya menjadi aktual.
3) Akal agen itulah sebagai akal ketiga yang disebut sebagai intelegensia Ketuhanan.[10]
d.   Harun Nasution dalam bukunya akal dan wahyu dalam Islam, membagi akal menjadi dua akal; praktis dan akal teoritis.
1)      Akal praktis yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada pada jiwa binatang.
2)      Akal teoritis yang menangkap arti-arti murni, arti yang tak pernah ada dalam materi. [11]
e.   R. Pariyana membagi akal menjadi dua bagian juga yaitu: akal lahir dan akal batin. Sebagaimana berikut :
1)      Akal lahir dibedakan menjadi 3 akal yaitu akal ajiji dan akal kasabi serta akal atoi.
2)      Akal batin dibedakan menjadi 2 akal juhud dan akal syarofi. Akal juhud tumbuh dari akal atoi, akal juhud tidak tertarik pada dunia kenyataan, seperti harta, tahta dan wanita. Sedangkan akal syarofi adalah akal sempurna atau yang disebut dengan ulul albab. [12]
f.    Sedangkan menurut Al-Ghazali, akal mempunyai empat pengertian, yaitu:
1)      Akal adalah sesuatu sifat yang membedakan manusia dengan hewan.
2)      Hakekat akal itu adalah ilmu pengetahuan yang timbul ke alam wujud daripada diri anak kecil yang dapat membedakan tentang kemungkinan barang yang mungkin dan kemustakhilan barang yang mustakhil.
3)      Akal adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dengan berlakunya bermacam-macam keadaan.
4)      Akal adalah kekuatan dari gharizah yang berpenghabisan sampai pada mengetahui akibat dari sebagian hal dan mencegah hawa nafsu yang mengajak pada kesenangan.[13]

Dari beberapa pengertian dan batasan di atas telah jelas dan dapat disimpulkan, bahwa; akal adalah suatu unsur rohaniyah manusia yang dengannya manusia dapat membedakan benar dan salah, baik dan buruk, sekaligus merupakan kemampuan untuk menerima ilmu pengetahuan. Dalam mekanismenya, terutama untuk memperoleh pengetahuan dan ma’rifat, pikiran dan qalbu berada dalam dada. Qalbu sendiri mempunyai dua pengertian: pertama dalam bentuk materi ia sering disebut qalbu/hati atau jantung. Sedang dalam pengertian yang lain adalah pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan dan rohaniah yaitu hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, berpengetahuan dan arif.[14]
Dengan demikian qalbu juga merupakan alat untuk mengingat atau dzikir kepada tuhan, sehingga pengetahuan yang diperolehnya lewat akal pikiran dan kalbu yang tidak terlepas dari mengingat Tuhan akan menghantarkan seseorang kepada keimanan.

2.      Pendidikan Akal
Manusia yang pada waktu dilahirkan tidak tahu apa-apa sebagaimana makhluk lain, tidak cukup hanya menggantungkan kepada alam untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Bagi hewan, naluri atau insting yang menentukan adaptasinya terhadap hukum-hukum alam, mereka tidak memerlukan pendidikan dan latihan untuk mengatur kehidupannya. Naluri pada manusia tidak mampu melakukan pengaturan fungsinya seperti pada hewan, sehingga manusia hanya menggantungkan pada nalurinya saja. Hal ini karena kebutuhan manusia beda dengan kebutuhan hewan. Pada manusia akal pikiran yang merupakan petunjuk utama bagi kesejahteraan hidupnya. Melalui akal ini manusia dapat mengenal jalan kebahagiaan.[15]
Berkaitan dengan kehidupan, Islam datang dengan berbagai konsepnya. Dan sesuai dengan keuniversalannya, Islam akan tetap mampu menjadi alternatif petunjuk yang benar dalam kehidupan. Dengan Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber utama, Islam mengatur segala kehidupan. Dalam mengatur kehidupan ini ada yang dijelaskan secara rinci dan ada yang hanya disebutkan secara global. Salah satu yang diatur secara global adalah tentang pendidikan.[16]
Karena akal yang diberikan pada manusia ketika dianugerahkan berupa potensi yang belum siap pakai, maka pendidikan akal berarti mengusahakan agar akal tersebut menjadi aktual.[17] Potensi ini akan berkembang menjadi baik jika disertai dengan pendidikan yang baik pula. Sebaliknya bila potensi dibiarkan akibatnya bisa fatal. Disebutkan dalam surat An-Nahl : 12
وسخرلكم اليل والنهار والشمس والقمرط والنجوم مسخرت بأمره ان فى ذلك لأيت لقوم يعقلون (النحل: 12)

Artinya :         “Dan Dia menundukkan untukmu malam dan siang, matahari dan bulan, bintang-bintang di langit itu tunduk di bawah perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang menggunakan akal”.[18]

Dari ayat ini tampak jelas bahwa dengan menggunakan akal, manusia dapat menyelidiki alam, karena hal ini menjadi titik tolak untuk memahami dan mengkaji alam juga untuk membuktikan kebenaran adanya yang Maha Pencipta.
Di depan telah disebutkan, bahwa manusia, terdiri dari unsur jasmani dan rohani, dimana rohani itu sendiri terdiri beberapa unsur-unsur yang lain. Islam sebagai agama fitrah menghormati tenaga-tenaga tersebut secara keseluruhan yang merupakan karunia dari Allah.[19] Dengan demikian, akal yang merupakan tenaga terbesar bagi manusia juga termasuk di dalamnya.
Dalam memberikan bimbingan terhadap akal ini, Islam memberikan batasan-batasan tertentu pada hal-hal yang kongkrit saja, dan kontak akal dengan kebenaran, yaitu menyerahkan yang kongkrit pada indera untuk dipikirkan oleh akal.[20] Bimbingan Islam kepada akal yang mula-mula diberikan adalah untuk memperhatikan kejadian alam, dari sini akan ditemukan adanya yang kuasa. Bukti adalah argumen yang sangat penting dalam menetapkan batas-batas kepastian suatu persoalan. Disebutkan dalam surat Al-Kahfi ayat 15 :
هؤلإ قومنا اتخذوا من دونه الهة ط لولا يأتون عليهم بسلطا ن بين .... (الكهف: 15)

Artinya: “Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai Tuhan-Tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan bukti dengan jelas”.[21]

Demikian Pembahasan kita tentang Pendidikan Akal Menurut Konsep Islam. Semoga bermanfaat



[1]Imam Bawani, Segi-segi Pendidikan Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1987, hlm. 203.
 
[2]Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hlm. 49.

[3]Imam Bawani, Op.cit., hlm. 204.
[4]Harun Nasution, Op.cit., hlm. 5-6.

[5]Ibid, hlm. 6

[6]Louwis Ma’luf, Kamus Munjid, Al-Mathaba’an, Al-Katsuliyah, Beirut, 1956, hlm. 520.

[7]Al-Qur'an, Surat Yusuf Ayat 111, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag. RI., Jakarta, 1987, hlm. 366.
[8]Imam Bawani, Op.cit., hlm. 205.

[9]Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayan dalam Al-Qur'an, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta, 1992, hlm. 122.  

[10]M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, Mizan, Jakarta, 1989, hlm. 26.

[11]Harun Nasution, Op.cit., hlm. 10.
[12]R. Pariyana Suryadipura, Alam Pikiran, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 180-181.

[13]Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz I, Isa al-Babi al-Halabi, Kairo, t.th., hlm. 313-315.

[14] Musa Ay’arie, Op.cit, hlm. 109.
[15]Imam Bawani, Op.cit., hlm. 211.

[16]Ibid, hlm. 208.

[17]Ibid, hlm. 209.
[18]Al-Qur'an, Surat An-Nahl Ayat 24, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag. RI., Jakarta, 1987, hlm. 405.

[19]Imam Bawani, Loc.cit., hlm. 209.

[20]Ibid, hlm. 210.

[21]Al-Qur'an, Surat Al-Kahfi Ayat 15, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Depag. RI., Jakarta, 1987, hlm. 445.

0 Response to "PENDIDIKAN AKAL MENURUT KONSEP ISLAM"

Post a Comment

sumonggo tinggalkan salam